Masih ingat Si Bread?Â
Itu anjing piaraan Frans, ipar Poltak, yang tinggal di Jalan Amat Buras.
Jalan Amat Buras itu ruas utama tempat Gang Sapi menempel di ujungnya. Kira-kira Gang Sapi itu semacam "ujung aspal", begitulah.
Jalan Amat Buras itu ruas elite, orang kaya tralala. Sedangkan Gang sapi ruas pabelieut, orang susah trelele.
Sekadar menunjukkan perbedaan Frans dan Poltak yang tinggal di Gang Sapi.
Frans tinggal di lingkungan elite homogen, sama-sama kaya dan individualistik. Saking kayanya, antar tetangga sampai tidak saling kenal.
Itu sebabnya Frans mengadopsi Si Bread, anjing serupa roti tawar teronggok itu. Supaya ada ada yang mengenal dan dikenalnya, selain istrinya sendiri.
Bedalah dengan Poltak di Gang Sapi. Warga di gang ini terlalu kenal satu sama lain. Sampai-sampai Poltak hapal jumlah dan warna daster istri tetangganya. Sebab dia selama 7 hari dalam seminggu bergosip di tepi gang dengan mengenakan daster yang sama.
Saking kenalnya satu sama lain, warga Gang Sapi tidak perlu memelihara anjing sebagai sahabat.
Sebenarnya, jujur ya, Â Poltak ingin juga sih memiara anjing. Tapi dia itu jenis manusia yang ojo dumeh, tepa selira, ngono yo ngono ning ojo ngono. Itu filosofi orang Jawa untuk menekankan konformitas. Ribet, ya.
Inti konformitas itu begini. Kalau mayoritas tetanggamu mengharamkan anjing karena keyakinan religinya, maka kamu juga "mengharamkan" anjing demi menghargai tetanggamu.
Jelas, ya?
Frans bisa memelihara Si Bread karena mayoritas warga Jalan Amat Buras punya "anabul" -- anjing, kelinci, dan kucing. Â Jadi, memiara anjing di sana tergolong konformitas juga.
"Si Bread bikin ulah lagi, Bang," lapor Frans kemarin sore pada Poltak.Â
"Bah. Kenapa pula dia."
Poltak sebenarnya heran. Kenapa setiap ada masalah, Frans selalu lapor padanya, sambil menghabiskan secangkir kopi dan tiga potong goreng pisang bikinan Berta, istrinya. Sampai-sampai Poltak cuma kebagian sepotong, karena Berta cuma kasih jatah empat potong.
Tapi kalau ada rezeki, Frans dan isterinya diam-diam pergi ke restoran bubur termahal di Jalan Monginsidi.
Bukannya ingin ditraktir. Bukan. Poltak juga pernah ke sana. Tapi cuma lewat di depan restoran itu sambil mikir, "Nasi sudah menjadi bubur aja kok mahal amat, ya."
Tapi begitulah dinamika struktur sosial. Saat orang kaya bermasalah, orang miskinlah yang jadi korban. Perusahaan bangkrut karena pemiliknya salah kelola, karyawan yang sengsara. Pemiliknya cuma pailit.
"Apa tidur siang lagi dia sama kamu dan istrimu. Sampai gak ketahuan maling masuk rumah ngembat dompet dan hape?"
Poltak menyidik Frans. Mengungkit ulah konyol Bread dulu. Â Anjing kok ya ikutan tidur siang bersama tuannya.
"Bukan, Bang. Ini lebih parah."
"Bah. Macam mana pula."
"Gini, Bang. Kemarin Si Bread menyusup ke pekarangan rumah tetangga. Lalu melakukan kekerasan seksual pada anjing betina milik tetangga itu."
"Bah. Macam mananya. Anjing kawin itu kan alamiah."
"Itulah, Bang. Tetanggaku marah besar. Dia tak terima anjingnya dikawini Si Bread. Katanya, anjing dia itu dari ras borjuis. Si Bread katanya dari ras proletar."
Rupanya, bagi tetangga Frans, borjuis melakukan kekerasan pada proletar itu wajar. Â Tapi proletar melakukan kekerasan pada borjuis, itu kurang ajar.
"Bah! Dia menghina anjingmu! Berarti menghina kau juga!"
"Jangan kau kompori pula aku, Bang. Palak pula nanti aku."
"Bah, betul juga kau. Ya sudah. Minum dulu kopimu. Ada goreng pisang itu."
"Itu belum seberapa, Bang," lanjut Frans sambil mengunyah goreng pisang. "Dia mengancam akan menghabisi Si Bread. Atas tuduhan telah melakukan kekerasan seksual pada anjingnya."
"Bah, parah itu. Kau laporkan saja pada polisi. Ancaman pembunuhan itu."
"Ah, Abang ada-ada saja. Polisi mana maulah ngurusi masalah anjing begituan."
"Bah. Jangan anggap remeh kau. Dulu Nenek Minah nyolong tiga buah kakao aja, urusannya nyampe ke polisi dan pengadilan. Dia divonis penjara 45 hari."
Poltak mengingatkan kasus Nenek Minah yang divonis hakim 45 hari penjara, atas tuduhan kejahatan mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan di Banyumas tahun 2019.
"Saranku, Frans," lanjut Poltak, "sebaiknya kau sewalah pengacara top untuk menyelesaikan masalah Si Bread itu."
Nasihat Poltak didasarkan pada fakta begitu mudahnya orang kaya, terutama selebriti, mengadukan orang lain ke polisi atas perkataan atau perbuatan yang katanya menista atau merusak nama baik. Entah kapan mereka punya nama baik.
"Ah, bikin peninglah itu, Bang. Aku mau amankan saja si Bread di rumah sakit. Minta dikebiri lalu rawat inap seminggulah. Untuk menghilangkan barang bukti."
"Bah, terserah kaulah, Frans," kata Poltak. Pikirnya, "Ribet kalilah otak orang kaya ini."
Poltak meraih pisin goreng pisang. Alamak! Sudah tandas rupanya digasak Frans. Tadi ada empat potong.
"Betul, kan?" keluh Poltak dalam hati. "Orang kaya yang bermasalah, orang miskin yang sengsara." (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H