Inti konformitas itu begini. Kalau mayoritas tetanggamu mengharamkan anjing karena keyakinan religinya, maka kamu juga "mengharamkan" anjing demi menghargai tetanggamu.
Jelas, ya?
Frans bisa memelihara Si Bread karena mayoritas warga Jalan Amat Buras punya "anabul" -- anjing, kelinci, dan kucing. Â Jadi, memiara anjing di sana tergolong konformitas juga.
"Si Bread bikin ulah lagi, Bang," lapor Frans kemarin sore pada Poltak.Â
"Bah. Kenapa pula dia."
Poltak sebenarnya heran. Kenapa setiap ada masalah, Frans selalu lapor padanya, sambil menghabiskan secangkir kopi dan tiga potong goreng pisang bikinan Berta, istrinya. Sampai-sampai Poltak cuma kebagian sepotong, karena Berta cuma kasih jatah empat potong.
Tapi kalau ada rezeki, Frans dan isterinya diam-diam pergi ke restoran bubur termahal di Jalan Monginsidi.
Bukannya ingin ditraktir. Bukan. Poltak juga pernah ke sana. Tapi cuma lewat di depan restoran itu sambil mikir, "Nasi sudah menjadi bubur aja kok mahal amat, ya."
Tapi begitulah dinamika struktur sosial. Saat orang kaya bermasalah, orang miskinlah yang jadi korban. Perusahaan bangkrut karena pemiliknya salah kelola, karyawan yang sengsara. Pemiliknya cuma pailit.
"Apa tidur siang lagi dia sama kamu dan istrimu. Sampai gak ketahuan maling masuk rumah ngembat dompet dan hape?"
Poltak menyidik Frans. Mengungkit ulah konyol Bread dulu. Â Anjing kok ya ikutan tidur siang bersama tuannya.