Predikat Katolik itu bukan justifikasi untuk mengecam orang lain.  Menjadi Katolik itu berarti penuh kasih dan  damai.  Pantang melemparkan batu, tapi pisang.Â
Karena itu frasa yang keluar dari mulut seorang Katolik mestinya "saya mengasihi" atau "saya mengampuni". Â Bukan "saya mengecam".
Apalagi mengecam Presiden Jokowi. Â Itu namanya Pigai mengkapitalisasi agama (Katolik) Â sebagai modal politik untuk menyudutkan presiden. Â Nah, itu politik identitas, bukan? Â
"Datang saat perayaan Ekaristi Maha Kudus di Altar Kudus."
Itu pernyataan tanpa dasar fakta.Â
Pigai miskin informasi, atau gagal menafsir data (video). Â Jokowi masuk ke dalam Katedral dipandu Pastor Yohanes Suparto, Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Bogor, Â setelah menunggu 15 menit di luar. Â Jokowi menunggu hingga Misa Natal usai.Â
Fakta-fakta dalam video  menandakan Misa sudah selesai.  Pastor yang mengumumkan kedatangan Jokowi, tadinya memimpin Misa, tidak lagi mengenakan kasula, stola, dan amik.  Hanya mengenakan alba (pakaian putih) dan single (tali pinggang).  Altar sudah kosong dari perlengkapan Misa, seperti piala anggur dan piala hosti.  Panti imam, sekitar altar, sudah kosong dari para misdinar dan prodiakon.
Dengan fakta-fakta tersebut, seseorang yang mengaku Katolik mestinya segera tahu bahwa Jokowi masuk ke dalam Katedral setelah Perayaan Ekaristi Kudus selesai.
"Bagaimanapun Jokowi orang Islam tidak elok masuk gereja saat Misa kecuali jika di halaman Gereja."
Bukan hanya orang Islam, bahkan orang Katolik sendiripun sebenarnya tak elok masuk ke dalam gereja jika Perayaan Ekaristi sedang berlangsung. Â Itu mengganggu kekhusukan Ekaristi. Â
Itu sebabnya ada Gereja Katolik yang langsung menutup pintu saat Perayaan Ekaristi sudah dimulai. Â Jika ada yang terlambat, silahkan mengikuti perayaaan dari luar.Â