Secara khusus pastor yang mempersembahkan Misa Malam Natal, Pastor Athanasius Kristiono Purwadi SJ dan Pastor Fredy Rante Taruk Pr, juga mengenakan passapu, penutup kepala lelaki khas adat Toraja.
Tapi tak hanya soal penampakan fisik unsur-unsur budaya benda Toraja. Lebih dari itu, dalam homilinya Pastor Fredy Rante Taruk Pr, seorang putra asli Toraja, mengaitkan mitologi Toraja tentang penciptaan manusia dengan tema Natal 2022 yaitu  "Pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain".
Dalam homili Malam Natal itu, Pastor Fredy menjelaskan kisah penciptaan manusia menurut Aluk To Dolo, kepercayaan asli Toraja. Lalu menyambungkannya dengan kisah kehadiran Yesus Kristus sebagai Juru Selamat  di Tana Toraja lewat pewartaan Missi Katolik dan Zending Protestan.
Dikisahkan Dewata Puang Matua menurunkam manusia pertama, Puang Bura Langi, ke bumi melalui Eran di Langi, tangga penghubung langit (jagad dewata) dan bumi (jagad manusia). Melalui tangga langit itu manusia terhubung secara intim dengan Dewata.
Tapi kemudian seorang manusia keturunan Puang Bura Langi yaitu Londong di Rura, seorang penguasa kaya-raya di Bambapuang sekarang, berbuat dosa berat. Demi menyelamatkan harta bendanya, dia mengawinkan dua pasang anak kembarnya.
Hal itu membuat murka Dewata Puang Matua. Dia menghancurkan Eran Di Langi, sehingga hubungan intim Dewata langit dan manusia bumi terputus.Â
Sejak itu, jika manusia bumi mati, maka arwahnya tidak bisa lagi naik ke langit, ke jagad Dewata. Arwah orang Toraja berkumpul di Puya, negeri arwah, satu titik kumpul di bekas pijakan Eran di Langi.
Untuk memulihkan relasi manusia dan Dewata di langit, Puang Matua mengutus To Manurun Tamboro Langi, manusia langit, ke Tana Toraja. To Manurun mengajarkan tata hidup baru, mencakup struktur dan nilai-nilai sosial-budaya. Dalam struktur sosial Toraja, To Manurun dan keturunannya kemudian menjadi kelompok bangsawan.Â
To Manurun antara lain mengajarkan adat kematian yang memungkinkan arwah manusia kembali bersatu dengan Puang Matua di langit. Tapi upacara adat itu terlalu mahal, sebab harus mengorbankan banyak ternak babi dan kerbau.  Karena itu hanya keluarga kaya, yaitu keturunan To Manurun saja yang mampu melaksanakannya.Â
Sedangkan mayoritas warga biasa tidak mampu memenuhinya. Akibatnya jika mereka mati, maka arwahnya tetap berada di Puya.