Memasuki  awal abad ke-21, perkembangan masyarakat Batak Toba di kampung halaman diwarnai dua gejala sosial.
Pertama, fakta sosial anak lelaki yang pergi merantau, entah cari kerja atau kuliah, ternyata tak sepenuhnya dapat diandalkan sebagai gantungan ekonomi keluarga di kampung.Â
Kedua, fakta sosial semakin banyak anak perempuan yang merantau ke luar daerah, untuk kuliah dan cari kerja, dan ternyata dapat menyumbang pada kebutuhan sosial dan ekonomi keluarganya di kampung halaman.
Secara senyap, tanpa ribut-ribut, ternyata telah terjadi revolusi kedudukan dan peran perempuan Batak Toba. Gender perempuan kini diperhitungkan sebagai tulang punggung sosial-ekonomi keluarga. Sebagaimana halnya juga gender laki-laki.Â
Umpama, petitih, Batak "Durung do boru, tomburan hula-hula" --Â yang berarti "penerima istri (anak perempuan) adalah tangguk, pemberi istri (orangtua perempuan) adalah tempat sajian lauk ikan -- Â menemukan aktualitasnya.
Maknanya, anak perempuan baik selagi gadis maupun setelah menikah tetap akan memberi dukungan sosial-ekonomi kepada orangtua dan saudara-saudarinya.Â
Itu bukan semata norma yang hampa. Faktanya memang demikian. Anak perempuan Batak Toba kini menjadi tumpuan sosial-ekonomi keluarga juga.
Karena itu, orangtua Batak Toba kini tak hanya memodali anak laki-laki, tapi juga anak perempuan. Â Modal utama yang lazim diberikan adalah pendidikan sampai tingkat sarjana. Itu sebabnya kini semakin banyak anak perempuan Batak yang merantau ke luar daerah untuk kuliah.
Gejala itu ditangkap juga oleh para musisi Batak Toba. Maka terciptalah lagu-lagu Batak yang mengangkat harapan orangtua kepada anak perempuannya.
Salah satu lagu yang fenomenal adalah Boru Panggoaran (Putri Sulung) karya Tagor Tampubolon (20003). Lagu ini pertama kali dinyanyikan sendiri oleh Tagor Tampubolon, berduet dengan Andri Silaen. Sekarang lagu itu sudah dinyanyikan ulang oleh banyak artis Batak dan Youtuber.
Lirik selengkapnya lagu itu adalah sebagai berikut.