"Bila kamu tak mampu menunjukkan bukti kejahatannya, maka ungkaplah bukti keburukannya."
Kamu Buruk Maka Kamu Penjahatnya
Saya mau mulai dengan dua cerita anekdotal berikut.
Cerita pertama.
Suatu malam di awal 1980-an di sebuah rumah di Kota Hujan. Suatu persekutuan doa kelompok mahasiswa Katolik buyar konsentrasinya gara-gara serangan senyap bau kentut.
Sambil menutup hidung, satu sama lain saling-lihat, mencoba menebak wajah mana yang paling pas dituduh pantatnya buang gas.
Akhirnya pandangan hadirin terfokus pada Aloy, lelaki pendiam yang ekspresi wajahnya selalu macam sedang jongkok di kakus.
"Ya, aku." Aloy mengaku, tertunduk, dengan suara lirih.
Beberapa minggu kemudian, Aloy bikin iri para teman lakinya, karena berpacaran dengan Ambar, gadis manis bunga persekutuan doa itu. Ambar kagum, dan merasa dilindungi Aloy, karena dialah sejatinya sumber gas perusuh doa itu.
Cerita kedua.
Suatu pagi di SD Negeri Hutabolon akhir 1970-an. Tiur masuk ke ruang kelas dua sambil menangis sesenggukan.
"Jonder! Kau apakan Tiur itu sampai dia menangis begitu." Guru Barita, guru kelas, langsung menegur Jonder dengan suara menggelegar dan mata melotot.
"Bukan aku, Gurunami." Jonder duduk meringkuk ketakutan.
"Jangan membantah. Kau yang biasa bikin nangis anak perempuan di sini. Bandal, kau!"
Jonder terdiam. Memang benar, dia terkenal bandal, suka bikin anak perempuan menangis.
"Matilah kau, Jonder." Poltak berbisik dari belakang Jonder. Dia tahu, Tiur menangis karena tadi jatuh terjerembab sendiri waktu lari-lari di luar kelas.
Tapi Poltak juga tahu, membela anak nakal di hadapan Guru Barita, sama dengan minta ikut dihukum berdiri di depan kelas.
Labelisasi. Itulah inti dua kisah anekdotal di atas.
Kamu jelek, atau kamu bandel, maka kamu pasti sumber masalah. Jika terjadi suatu masalah, maka kamu adalah tersangka utamanya.
Begitulah cara khalayak menghakimi seseorang sebagai pelaku kejahatan yang tak dilakukannya. Labelisasi lewat pembentukan opini publik.
Maka Quasimodo, Si Bongkok dari Notredeme rekaan Victor Hugo, adalah penjahat. Bukan karena dia melakukan hal-hal jahat, tapi sebab sangat buruklah rupa dan tubuhnya.
Upaya Labelisasi Brigadir J
Saya teringat dua anekdot di atas, dan tentu saja juga Quasimodo, saat mengakses berita peradilan pembunuhan Brigadir J.
Ada upaya pengacara FS dan PC, terdakwa pembunuh, untuk melabel negatif korban Brigadir J sebagai "bukan lelaki baik".
Saya akan rujuk dua pertanyaan tendensius Sarmauli, pengacara FS dan PC, kepada saksi Reza (adik Brifadir J). [1]
Pertama, Sarma menanyai Reza tentang gaya hidup Brigadir J. Apakah Reza tahu Brigadir J pernah pergi ke kelab malam bersama ajudan Sambo yang lain seperti Daden dan Richard?
Kedua, Sarma menanyai Reza tentang wanita mana saja yang dekat dengan Brigadir J, selain Vera. Sarmauli hendak menyebut nama wanita lain dan menampilkan video Brigadir J dengan wanita tersebut.
Untungnya, hakim cerdas dan tegas. Hakim mematikan pertanyaan-pertanyaan Sarma. Alasannya simple. Tak ada kaitan dengan perkara yang didakwakan pada FS dan PC.
Mengapa Sarma, pengacara FS dan PC, mengajukan pertanyaan (dan pernyataan) tak relevan semacam itu?
Sarma mau melabel Brigadir J sebagai "bukan lelaki baik-baik". Secara spesifik hendak dikesankan Brigadir J itu "lelaki dugem banyak pacar".
Tak masalah bagi Sarma kalaupun hakim memotong pertanyaannya. Toh, dia sudah menebar kesan "buruk" itu kepada khalayak. Legal, dari ruang pengadilan.
Maksud pelabelan itu sudah terang. Untuk framing karakter Brigadir J sebagai "bukan lelaki baik-baik".
Jika karakter Brigadir J "seburuk" itu maka, sejalan dengan pengakuan para terdakwa, menjadi masuk akal kalau dia melecehkan PC secara seksual.
Begitulah logika yang hendak dibangun dan disebarkan pengacara FS dan PC.
Pengacara FS dan PC berupaya mati-matian agar isu pelecehan seksual oleh Brigadir J kepada PC diterima sebagai fakta hukum. Sebab itulah satu-satunya alasan yang meringankan bagi FS dan PC, untuk menghindari vonis hukuman mati.
Kasus pembunuhan demi kehormatan (honour killing). Itulah yang hendak ditegakkan pengacara FS dan PC.
Itu sebabnya isu pelecehan seksual itu sengaja dimunculkan dalam eksepsi terdakwa FS, PC, dan KM. Tujuannya mempengaruhi opini hakim dan khalayak.
Bahkan saat minta maaf kepada orangtua Brigadir J, FS tetap mengingatkan soal pelecehan seksual itu. Katanya, "... saya ingin menyampaikan bahwa peristiwa yang terjadi adalah akibat kemarahan saya atas perbuatan anak Bapak kepada istri saya.” [2]
Sebenarnya, pengacara FS dan PC sangat sadar isu pelecehan seksual itu tak akan terbuktikan karena tiga alasan.
Pertama, perkara yang sedang disidang adalah kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa FS, PC, KM, RR, dan RE. Bukan kasus pelecehan seksual.
Kedua, Brigadir J sebagai rertuduh peleceh seksual sudah meningggal dunia, sehingga kasusnya terhenti demi hukum.
Ketiga, isu pelecehan seksual sudah digugurkan Polri karena dinilai fiktif dan tak mungkin menjadi faktual hanya karena pergantian tempat kejadian dari Jakarta ke Magelang.
Jika seseorang tak dapat dibuktikan telah berbuat kesalahan, maka ungkaplah fakta keburukannya. Maka orang akan beranggapan dia pantas melakukan kesalahan itu.
Itulah strategi framing yang dilakukan pengacara FS dan PC terhadap Brigadir J. Ungkap fakta keburukannya. Agar khalayak berpikir Brigadir J itu terlalu buruk untuk tak tega melakukan pelecehan seksual.
Kepalsuan-Kepalsuan Logika Pengacara
Apa yang sedang dilakukan pengacara FS dan PC sejatinya adalah menegakkan sebuah "kebenaran semu" berdasar "kepalsuan-kepalsuan logika" (logical fallacies).
"Kebenaran semu" yang hendak ditegakkan adalah kesimpulan bahwa Brigadir J bukan lelaki baik-baik dan, karena itu, masuk akal bila dia melakukan pelecehan seksual kepada PC.
Tapi tidak ada kebenaran yang berasal dari kesalahan. Prinsip itu berlaku di sini.
Pengacara FS dan PC, sebagaimana tercermin pada pertanyaan/ pernyataan Sarma tadi, telah berupaya menegakkan kebenaran di atas dasar kepalsuan logika.
Sekurangnya dapat dikenali dua kepalsuan logika di situ.
Pertama, pengalihan perhatian (red herring fallacy). Mempertanyakan gaya hidup dan kehidupan asmara Brigadir J sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindak pembunuhan terhadapnya. Bahkan tak berkait dengan status Brigadir J sebagai ajudan FS ataupun PC.
Pengacara FS dan PC juga paham soal itu.
Tapi isu seputar gaya hidup dan asmara memang sangat menarik. Bisa menyita perhatian khalayak. Bahkan membentuk kontra-opini tentang Brigadir J yang selama ini dipersepsikan sebagai "anak baik (yang hormat pada orangtua)".
Andai saja Reza (adik J) dan Vera (pacar J) terpancing emosinya menanggapi pertanyaan pengacara FS dan PC, maka berita tentang gaya hidup dan asmara Brigadir J akan viral. Polemik tentang kasus pembunuhan Brigadir J bisa saja bergeser fokusnya pada karakter "buruk" Brigadir J.
Untunglah hakim, juga jaksa, sangat paham soal permainan logika palsu semacam itu.
Kedua, manipulasi emosi (argumentum ad passiones). Hal ini berpangkal pada pengakuan FS bahwa pembunuhan Brigadir J dipicu tindakannya melecehkan PC secara seksual. Pembunuhan itu dilakukan demi kehormatan keluarga (honour killing).
Dengan menyebut motif membela kehormatan keluarga khalayak diharapkan maklum, atau bersimpati, atas tindakan FS membunuh Brigadir J.
Seorang perusak kehormatan keluarga dinilai pantas mendapat hukuman. Sekalipun hukuman itu berupa "penghilangan nyawa". Disadari hal itu salah, tapi dapat dimaklumi.
Masalahnya, dalam kasus pembunuhan Brigadir J, tidak ada cukup fakta hukum yang kuat untuk membuktikan dia telah melecehksn PC. Karena itu emosi khalayak perlu dimanipulasi. Agar percaya pelecehan benar terjadi walau tak didukung bukti kuat.
Upaya labelisasi Brigadir J sebagai "lelaki dugem banyak pacar", atau "bukan lelaki baik-baik", jelas dimaksudkan untuk memanipulasi emosi khalayak. Agar orang beropini, "Oh, Brigadir J memang bukan lelaki baik-baik. Masuk akallah dia melecehkan PC secara seksual."
Terdakwanya Bukan Brigadir J
Sejauh ini, upaya framing atau labelisasi Brigadir J sebagai "bukan lelaki baik-baik" belum berhasil. Strategi pengajuan logika-logika palsu yang dilancarkan pengacara FS dan PC masih bisa dimentahkan hakim dan jaksa.
Tapi, saya pikir, para pengacara FS dan PC tidak akan berhenti. Sebab target mereka agaknya bukan membuktikan FS dan PC tak terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir J. FS sendiri sudah mengaku terlibat.
Target mereka adalah penegakan fakta "pelecehan seksual kepada PC oleh Brigadir J". Jika fakta itu dapat ditegakkan, maka pembunuhan Brigadir J akan memiliki motif "heroik" yaitu "demi menegakkan kehormatan keluarga".
Masalahnya peradilan yang sedang berlangsung adalah peradilan perkara pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa FS, PC, RE, RR, dan KM. Bukan peradilan perkara pelecehan seksual terhadap PC dengan terdakwa almarhum Brigadir J.
Mudah-mudahan saja peradilan ini bersih dari kepalsuan-kepalsuan logika seperti di atas. Sehingga kebenaran hukumlah yang akan diungkap, bukan kebenaran semu. Dan, karena itu, keadilan yang diputus hakim juga bukan keadilan semu.
Semoga pula Brigadir J tak dikonstruksi pengadilan menjadi serupa Quasimodo yang "buruk". Sebegitu "buruk"-nya sehingga dia tak perlu melakukan kesalahan apapun untuk dicap sebagai penjahat. (eFTe)
Rujukan:
[1] "4 Pertanyaan Kuasa Hukum Sambo ke Keluarga Brigadir J yang Disorot Publik", kompas.com, 2 November 2022.
[2] "Ferdy Sambo ke Orang Tua Brigadir J: Peristiwa Terjadi karena Kelakuan Anak Bapak kepada Istri Saya", tribunnews.com, 1/11/2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H