Suatu pagi di SD Negeri Hutabolon akhir 1970-an. Tiur masuk ke ruang kelas dua sambil menangis sesenggukan. Â
"Jonder! Kau apakan Tiur itu sampai dia menangis begitu." Guru Barita, guru kelas, langsung menegur Jonder dengan suara menggelegar dan mata melotot.
"Bukan aku, Gurunami." Jonder duduk meringkuk ketakutan.
"Jangan membantah. Kau yang biasa bikin nangis anak perempuan di sini. Bandal, kau!"
Jonder terdiam. Memang benar, dia terkenal bandal, Â suka bikin anak perempuan menangis.
"Matilah kau, Jonder." Poltak berbisik dari belakang Jonder. Dia tahu, Tiur menangis karena tadi jatuh terjerembab sendiri waktu lari-lari di luar kelas.
Tapi Poltak juga tahu, membela anak nakal di hadapan Guru Barita, sama dengan minta ikut dihukum berdiri di depan kelas.
Labelisasi. Â Itulah inti dua kisah anekdotal di atas.
Kamu jelek, atau kamu bandel, maka kamu pasti sumber masalah. Jika terjadi suatu masalah, maka kamu adalah tersangka utamanya.
Begitulah cara khalayak menghakimi seseorang sebagai pelaku kejahatan yang tak dilakukannya. Â Labelisasi lewat pembentukan opini publik.Â
Maka Quasimodo, Si Bongkok dari Notredeme rekaan Victor Hugo, adalah penjahat. Bukan karena dia melakukan hal-hal jahat, tapi sebab sangat buruklah rupa dan tubuhnya.