Begitulah logika yang hendak dibangun dan disebarkan pengacara FS dan PC.
Pengacara FS dan PC berupaya mati-matian agar isu pelecehan seksual oleh Brigadir J kepada PC diterima sebagai fakta hukum. Sebab itulah satu-satunya alasan yang meringankan bagi FS dan PC, untuk menghindari vonis hukuman mati.
Kasus pembunuhan demi kehormatan (honour killing). Itulah yang hendak ditegakkan pengacara FS dan PC.
Itu sebabnya isu pelecehan seksual itu sengaja dimunculkan dalam eksepsi terdakwa FS, PC, dan KM. Tujuannya mempengaruhi opini hakim dan khalayak.
Bahkan saat minta maaf kepada orangtua Brigadir J, FS tetap mengingatkan soal pelecehan seksual itu. Katanya, "... saya ingin menyampaikan bahwa peristiwa yang terjadi adalah akibat kemarahan saya atas perbuatan anak Bapak kepada istri saya.” [2]
Sebenarnya, pengacara FS dan PC sangat sadar isu pelecehan seksual itu tak akan terbuktikan karena tiga alasan.
Pertama, perkara yang sedang disidang adalah kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa FS, PC, KM, RR, dan RE. Bukan kasus pelecehan seksual.
Kedua, Brigadir J sebagai rertuduh peleceh seksual sudah meningggal dunia, sehingga kasusnya terhenti demi hukum.
Ketiga, isu pelecehan seksual sudah digugurkan Polri karena dinilai fiktif dan tak mungkin menjadi faktual hanya karena pergantian tempat kejadian dari Jakarta ke Magelang.
Jika seseorang tak dapat dibuktikan telah berbuat kesalahan, maka ungkaplah fakta keburukannya. Maka orang akan beranggapan dia pantas melakukan kesalahan itu.
Itulah strategi framing yang dilakukan pengacara FS dan PC terhadap Brigadir J. Ungkap fakta keburukannya. Agar khalayak berpikir Brigadir J itu terlalu buruk untuk tak tega melakukan pelecehan seksual.