Tubuh Poltak segera dibaringkan di atas geladak. Ompung Golom segera memeriksa nadi lehernya. "Selamat dia!" Teriaknya. Nadi Poltak masih berdenyut. "Ada nafasnya!" Dia berteriak lagi, setelah menaruh jarinya di depan lubang hidung Poltak.
"Poltak. Bangun kau, amang." Poltak mendengar suara neneknya menyuruh bangun.
Poltak perlahan membuka matanya. Samar-samar dia melihat wajah-wajah orang berkerumun di atas mukanya.Â
Perlahan-lahan wajah-wajah itu makin jelas tampak. Ompung Golom, Binsar, dan Bistok di sebelah kanan. Tulang Juangsa, Badia, dan Hisar di sebelah kiri.Â
Lalu di tengah, tepat di atas mukanya, ada wajah Buntora lengkap dengan sepasang ingus hijau keluar-masuk kedua lubang hidungnya. Itulah wajah malaikat kecil penolongnya, beringus tanpa sayap.
"Mauliate, Tuhan. Kau masih hidup, Poltak." Binsar bersyukur, sambil menggoyang-goyang dada Poltak.
Bersamaan dengan itu, Poltak terbatuk dan memuncratkan air dari mulutnya, tepat menyemprot wajah Buntora, malaikat penolong itu. Buntora kaget, terdangak, lalu jatuh telentang.
"Horas! Horas! Horas!" Ompung Golom, diikuti yang lain, serentak menyorakkan ucapan selamat dan syukur.
Bersamaan dengan itu, Poltak bangkit duduk. Rona wajahnya mulai tampak memerah. Tanda darahnya sudah mengalir normal dalam tubuh.
Ompung Golom berlari ke ruang kemudi, mengambil segenggam beras yang selalu sedia di situ, lalu kembali lagi dan segera menaburkan beras di kepala Poltak sambil berkata, "Horas ma tondim amang madingin, jala pir ma tondim amang matogu."Â
Itu adalah doa boras si pir ni tondi, beras penguat jiwa. Doa pemulihan dan penguatan kembali tondi, jiwa, yang sudah hampir lepas dari tubuh Poltak.