Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Duka-lara di 8 dari 14 Tahun Kompasiana

23 Oktober 2022   21:12 Diperbarui: 24 Oktober 2022   06:46 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman muka akun Kompasiana Engkong Felix (Dokpri)

Maaf, karena satu dan lain hal, artikel ini tak dapat disertakan dalam Event "Kisah Manis Selama Menjadi Kompasianer" yang dibesut KJOG.

Sebab jijay banget rasanya Engkong lansia ini harus menulis "diary".  Apalagi nulis yang manis-manis.  Seperti disyaratkan KJOG. 

Bah. Emangnya Engkong lansia apaan?

Jadi teringat pada Rauli, gadis manis putri paman sekelas di SMA Jurusan IPA tahun 1970-an. Punya diary yang isinya full secret.

Suatu hari Engkong tak sengaja melirik isinya -- saat Rauli buka-buka di kelas. Ternyata data turus cupangan setiap malam Minggu.

Walah, jijay blas! Acek banget, tuh!

Itu tadi alasan pertama.

Alasan kedua, Engkong gak punya akun medsos semacam twitter, facebook, instagram, dan telegram. Event yang diinisiasi KJOG itu mensyaratkan share artikel di medsos sendiri.

Itulah duka-lara pertama Engkong dalam 8 dari 14 tahun Kompasina. Tidak hanya event KJOG. Sejumlah event nulis di Kompasiana juga mempersyaratkan share di akun medsos sendiri.

Sungguh, itu sungguh diskriminatif. Tapi, ya, mesti diterima. Sebab era I(di)oT ini memang memihak dan memanjakan netizen bermedsos. 

Ah, salah sendiri Engkong gak ikutan bermedsos-ria. Jangan berdalih lansialah. Banyak juga tuh politisi gaek yang genit bermedsos-ria.

Tapi itu soal prinsip, sih. Sekali lagi, prinsip. Prinsip "medsos no, pansos no".  

Lagi pula, kamu yang kini punya akun telegram gak usah sombonglah. Asal tahu saja, Engkong sudah main telegram tahun 1980-an di Kantor Telegram.  Buat ngirim berita genting kepada orangtua: "ANAKMU KRISIS TITIK CEPAT KIRIM WESEL TITIK".

***

Duka-lara lantaran tak bermedsos itu baru satu.  Masih ada yang lain. Engkong bikin daftarnya, ya.

Artikel tanpa apresiasi. Ini terjadi pada tahun awal menulis di Kompasiana (2014). Sedungu apa Engkong sehingga artikelnya gak jadi "Pilihan". Gak usah mikir HL dululah.

Tapi kemudian Engkong sadar, lalu belajar. Menulis di blog keroyokan macam Kompasiana, beda dengan menulis di jurnal ilmiah. Bukan saja dari segi gaya bahasa dan panjang artikel. Tapi terutama dari segi topik artikel. Tidak saja mesti spesifik, tapi harus memenuhi satu atau lebih nilai informasi yang diacu Admin Kompasiana (aktual, menarik, menghibur, bermanfaat, inspiratif, unik).

Copot label. Admin nyopot label "Pilihan" lantaran artikel dinilai sensitif atau berpotensi mencemarkan nama baik seseorang. 

Ada satu kasus yang Engkong tak bisa terima yaitu pencopotan label "Pilihan" pada artikel pelaporan plagiat di Kompasiana. Menurut Engkong plagiator itu sudah mencemarkan nama baiknya sendiri. Jadi apa perlunya dilindungi lagi?

Penghapusan artikel. Engkong pernah mengalami ini. Ada rekan kompasianer yang berkeberatan dengan artikel yang Engkong tulis. Alasannya mendiskreditkan dirinya. 

Setelah melalui adu argumen, demi "hubungan baik sesama kompasianer", Engkong memutuskan menghapus sendiri artikel yang dipermasalahkan.  Sedih rasanya.  

Pehape K-Rewards. Engkong dijanjikan akan mendapat K-Rewards ternyata Admin cuma pehape. Engkong sedih. Sudah tua, kok ya masih di-pehape. Jadi teringat kisah lara di masa muda.

Pelecehan humor. Artikel humor -- bukan tentang humor -- agaknya terbilang paling tak dihargai Admin Kompasiana. Jarang, sangat jarang HL. 

Dulu sub-kanal "Humor" malah sempat dihilangkan. Itu pelecehan yang bikin Engkong meradang zonder menerjang. 

Untunglah "humor" kemudian muncul lagi di kanal "Life".  Masih jauh dari harapan Engkong yang mengusulkan "humor" masuk kanal "Fiksiana". 

Tapi, ya, lumayanlah. Sudah syukur ada lagi "rumah humor" di Kompasiana. 

Penggusuran novel. Ini yang paling bikin sakit hati. Engkong lagi asyik-asyiknya menganggit novel Poltak, eh, rumahnya digusur dari kanal "Fiksiana". Sekarang gak ada lagi sub-kanal "Novel". 

Akibatnya Poltak terpaksa mengungsi ke dalam kanal "Fiksiana" langsung. Itu sama saja masuk fasilitas "tenda umum" untuk pengungsi. Sedihlah. 

Pemblokiran akun teman. Ini menyedihkan. Kalau akun teman kompasianer diblokir lantaran mengagihkan 5 artikel fitnah atau provokasi berbasis hoaks, okelah. Bisa diterima.

Tapi jika akun diblokir  lantaran mengagihkan 5 artikel plagiat, nah, itu layak dipertanyakan. Bukan karena Engkong toleran pada plagiator. Bukan. Tapi karena reliabilitas alat ukur  plagiasi/plagiat yang digunakan Admin -- seperti tercantum dalam  "Ketentuan Konten" Kompasiana -- menurut Engkong kurang bisa dipertanggung-jawabkan.

Engkong tiba pada kesimpulan itu setelah memeriksa dua artikel seorang kompasianer yang akunnya diblokir. Jika dugaannya plagiasi, dan ukurannya adalah ketentuan konten, maka dua artikel itu mestinya tak tergolong plagiat.

Mungkin Engkong salah periksa. Tapi tak ada salahnya bila Admin meninjau-ulang alat ukur plagiat itu. Agar tak sampai menghukum seseorang yang sejatinya tidak bersalah. 

Kehilangan teman. Ini yang paling menyedihkan. Engkong paham, kompasianer datang dan pergi, tapi Kompasiana tetap ada. Itu hukum kelanggengan organisasi sosial.

Tapi, tak urung, hati Engkong sangat sedih manakala "teman-teman akrab" di Kompasiana menghilang. Entah itu karena memutuskan ghosting atau "pensiun" nulis, tapi terutama jika teman pergi lebih dulu ke keabadian.

Walau tak kenal secara tatap muka, cuma tatap layar, "teman-teman akrab" itu adalah modal sosial yang telah mendukung pengembangan diri Engkong. 

Mereka sangat "sesuatu" bagi Engkong. Dan kehilangan "sesuatu" itu tak bisa lain artinya kecuali "duka-lara".

***

Apakah tak ada yang manis bagi Engkong sepanjang 8 tahun berkompasiana?

Banyak! Tapi tak perlulah diumbar di sini. Terlalu banyak manis bisa berakibat Diabetes Kompasianus, eh, Diabetes Kompasiana.

Lagian, menurut Engkong, sesuatu yang manis itu adalah konsekuensi logis dari kepahitan. Seperti minum jamu brotowali, berujung minum beras kencur.

Itu sebuah proses yang tak pernah mudah.

Maksud Engkong, berkompasiana itu adalah proses belajar komunikasi sosial. Mengasah logika, etika, dan estetika dalam praktek komunikasi daring. Demi menjalin simpul kesepahaman.

Bagi Engkong, itu bukan soal mudah. Harus melewati kesakitan, duka-lara. Karena kegagalan demi kegagalan dalam menyampaikan pesan lewat tulisan kepada sesama kompasianer.

Pesan dalam artikel kerap disalah-pahami. Bahkan sampai menimbukan selisih paham, laku ketegangan yang berimplikasi penghapusan artikel. Itu semacam pengkhianatan pada nurani sendiri. Bikin sakit hati. 

Tapi semua duka-lara itu harus diterima dan dilakoni sebagai keniscayaan di jalan Kompasiana. Di balik setetes madu selalu ada jerih-payah seekor lebah. 

Begitu pula, jika ada suka-ria berkompasiana yang hari ini Engkong reguk, itu adalah buah duka-lara berkompasiana hari kemarin.

Ah, cukuplah sudah. Rasanya si tua bangka ini sudah terlalu banyak ngomong.

Happy Ultah ke-14 Kompasiana! (eFTe)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun