Kehilangan teman. Ini yang paling menyedihkan. Engkong paham, kompasianer datang dan pergi, tapi Kompasiana tetap ada. Itu hukum kelanggengan organisasi sosial.
Tapi, tak urung, hati Engkong sangat sedih manakala "teman-teman akrab" di Kompasiana menghilang. Entah itu karena memutuskan ghosting atau "pensiun" nulis, tapi terutama jika teman pergi lebih dulu ke keabadian.
Walau tak kenal secara tatap muka, cuma tatap layar, "teman-teman akrab" itu adalah modal sosial yang telah mendukung pengembangan diri Engkong.Â
Mereka sangat "sesuatu" bagi Engkong. Dan kehilangan "sesuatu" itu tak bisa lain artinya kecuali "duka-lara".
***
Apakah tak ada yang manis bagi Engkong sepanjang 8 tahun berkompasiana?
Banyak! Tapi tak perlulah diumbar di sini. Terlalu banyak manis bisa berakibat Diabetes Kompasianus, eh, Diabetes Kompasiana.
Lagian, menurut Engkong, sesuatu yang manis itu adalah konsekuensi logis dari kepahitan. Seperti minum jamu brotowali, berujung minum beras kencur.
Itu sebuah proses yang tak pernah mudah.
Maksud Engkong, berkompasiana itu adalah proses belajar komunikasi sosial. Mengasah logika, etika, dan estetika dalam praktek komunikasi daring. Demi menjalin simpul kesepahaman.
Bagi Engkong, itu bukan soal mudah. Harus melewati kesakitan, duka-lara. Karena kegagalan demi kegagalan dalam menyampaikan pesan lewat tulisan kepada sesama kompasianer.