Dalam masa dewasa ini, Poltak jalan kaki atau naik sepeda demi efisiensi biaya transportasi. Â Namun saat tempat kerja jauh dari tempat tinggal, penggunaan transportasi umum menjadi dominan. Â Jalan kaki hanya menjadi pelengkap.
Masa pra-lansia (50 plus) sampai lansia (5o plus), tahun 2000-an ke sini, Poltak alih-profesi dari pengajar menjadi karyawan perusahaan di Jakarta. Â Itulah masa mobil menjadi "rumah ketiga" bagi Poltak. Â Dari rumah ke kantor, dari kantor ke kantor lain, dan dari kantor ke lapangan. Itu semua mustahil dilakoni dengan jalan kaki.
Bayangkan bila Poltak rapat di dua atau tiga kantor yang berjauhan di Jakarta dalam sehari. Cara terbaik baginya untuk bisa hadir tepat waktu di tiga kantor itu  adalah naik mobil pribadi, mobil kantor, atau kendaraan umum.  Ada implikasinya: perut Poltak semakin maju ke depan.
Jalan kaki berubah menjadi kegiatan olahraga (jogging) dan rekreasi bagi Poltak . Â Jalan kaki sebagai rekreasi dilakoni saat berlibur. Entah itu menyusur pantai, mendaki bukit, keliling situs purbakala, keliling wahana hiburan, dan eksplorasi pasar tradisional.
***
Berdasar riwayat subyektif Poltak di atas, dapat disimpulkan perubahan-perubahan makna jalan kaki dari masa kanak-kanak sampai lansia pada diri individu.
Pertama, pada masa kanak-kanak Poltak di pedesaan, kondisi sosial-ekonomi yang terbelakang menjadikan jalan kaki sebagai moda utama mobilitas fisik. Dalam kultur setempat, jalan kaki sudah menjadi "kebiasaan" (folkways).
Kedua, pada masa remaja jalan kaki bagi Poltak menjadi "instrumen" sosial-ekonomi.  Semasa di SMP Seminari, jalan kaki menjadi instrumen pengenalan lingkungan, pembentukan solidaritas, dan penguatan ketahanan fisik dan psikis.  Semasa di SMA, naik sepeda -- disetarakan dengan jalan kaki -- menjafi  instrumen efisiensi biaya hidup.
Ketiga, pada masa dewasa, terutama saat kuliah, jalan kaki menjadi instrumen efisiensi biaya transportasi bagi Poltak. Â Tapi seiring peningkatan intensitas kerja, dan jarak tempat kerja dan tempat tinggal semakin jauh, jarak dan durasi jalan kaki semakin menurun. Penggunaan kendaraan umum semakin dominan.
Keempat, pada masa pra-lansia dan lansia, seiring semakin padatnya intensitas kerja di kantor dan luar-kantor, penggunaan mobil pribadi/kantor dan kendaraan umum menjadi moda utama mobilitas fisik bagi Poltak. Jalan kaki berubah menjadi kegiatan olah raga dan rekreasi (wisata) bagi Poltak.
Berdasar simpulan-simpulan perubahan makna jalan kaki pada kasus subyek Poltak di atas, dan hal serupa adalah pengalaman umum di Indonesia, jelas sulit menyimpulkan orang Indonesia paling malas jalan kaki sedunia.