Keluar dari SMP Seminari , Poltak kembali ke Toba. Dia melanjutkan pendidikan di sebuah SMA Negeri di pinggiran kota Porsea. Â
Sebenarnya tiap pagi banyak oplet dari kota Porsea, tempat mondok Poltak, hilir-mudik mengantar anak sekolah SMP dan SMA. Tapi itu butuh ongkos. Â Poltak memutuskan pergi-pulang sekolah naik sepeda kumbang warisan kakeknya, bolak-balik total 8 km tiap hari. Â
Bagi Poltak naik sepeda, anggap itu setara jalan kaki, semasa SMA adalah pilihan sadar demi efisiensi ekonomi. Maklum uang sakunya terbatas.
Masa Dewasa Tahun 1980-2000-an
Masa dewasa Poltak terdiri dari dua bagian besar. Â Pertama, masa perkuliahan tahun 1980-an ( S1 dan S2), disambi kerja magang riset. Saat kuliah S1 pada paruh pertama 1980-an, Poltak ngontrak kamar di Babakan Tegalmangga, persis di belakang Kampus IPB Baranangsiang. Â
Babakan Tegalmangga dan kampus dipisahkan oleh sebuah lembahyang dialiri sungai. Tiap hari Poltak harus naik-turun lembah saat pergi ke atau pulang dari kampus. Jarak totalnya, jika bolak-balik, sekitar 1.5 km. Â
Saat melanjutkan kuliah S2 di UKSW Salatiga, Poltak sehari-hari naik sepeda. Â Masa itu adalah dua tahun keliling Salatiga naik sepeda. Â Ke kampus, ke pasar, ke bioskop, ke gereja, ke pusat oleh-oleh, Â dan ke pusat jajanan.
Kedua, tahun 1990-an sampai 2000-an. Â Poltak memasuki masa kerja sebagai pengajar dan peneliti di Perguruan Tinggi.Â
Duapuluh tahun itu adalah mobilitas fisik menggunakan perpaduan angkot, bus/kereta api, ojek, dan jalan kaki. Â Hal itu harus dilakukan untuk menyiasati tempat mengajar yang jauh, kadang di dua tempat dengan waktu yang berdekatan.
Apalagi saar Poltak memutuskan pindah tempat tinggal ke Jakarta. Â Sementara pekerjaan ada di Bogor. Â Ketergantungan pada bus/kereta api dan angkot semakin besar. Â
Tapi jalan kaki tetap saja tak tertinggalkan. Â Jalan kaki ke stasiun/terminal, kantor, dan rumah. Â Termasuk mengejar bus dan kereta api.Â