Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tragedi Kanjuruhan: Sepakbola sebagai Aksi Sosio-Emosional Massa

3 Oktober 2022   11:57 Diperbarui: 4 Oktober 2022   18:56 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Para pemangku kepentingan di lingkungan Liga 1 PSSI tentu pasti bisa mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan.  Pasti bisa menemukan di mana letak kesalahan dan pihak mana saja yang bertanggung-jawab atas kesalahan itu. Lalu kemudian menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti bersalah.

Tapi apakah itu cukup?  Apakah dengan demikian ada jaminan tragedi sepakbola seperti kasus Kanjuruhan tidak akan terjadi lagi di Indonesia?

Saya pikir tidak!

Selama PSSI dan klub-klub sepakbola mengutamakan paradigma sepakbola sebagai  bisnis kapitalistik, selama itu pula akan selalu ada risiko terjadinya aksi-aksi massa penonton yang bersifat anarkis seperti Tragedi Kanjuruhan.  Entah itu dalam skala yang lebih besar atau lebih kecil.  Sebab dengan paradigma semacam itu, selamanya keserakahan akan selalu dimenangkan terhadap keamanan.

Hanya jika PSSI dan klub-klub sepakbola sudi juga memahami sepakbola sebagai aksi sosio'emosional massa, seperti telah dijelaskan di atas, maka kepentingan keamanan akan didudukkan di depan keserakahan.  Artinya faktor keamanan akan menjadi kontrol bagi keserakahan kapitalisme sepakbola.  

Itu artinya sistem dan infrastruktur keamanan, serta kualitas dan kuantitas aparat pengamanan  akan menjadi prioritas utama dalam setiap pertandingan sepakbola. Konsekuensinya tentulah peningkatan biaya yang pasti akan mengurangi bagian surplus bagi klub dan PSSI. Tapi hal seperti itu mestinya bisa mencegah 131 nyawa melayang di Kanjuruhan.

Intinya, kelolalah pertandingan sepakbola sebagai suatu aksi sosio-emosional massa yang berorientasi katarsis sosial. Jangan lagi mengelola pertandingan sepakbola semata-mata sebagai kegiatan bisnis kapitalistik yang mengorbankan kepentingan pihak terlemah yaitu massa pendukung di stadion dan luar stadion. Tragedi Kanjuruhan adalah bukti kegagalan para stakeholder mengelola sepakbola sebagai aksi sosio-emosional. Jangan pernah terulang lagi hal serupa itu .

Saya pikir, jika ditanyakan pada mereka, maka itulah pesan dari korban jiwa-jiwa yang melayang di Stadion Kanjuruhan, Malang pada hari Sabtu 1 Oktober 2022 dan hari-hari setelahnya.

Semoga para pemangku sepakbola nadional, khususnya pemerintah, PSSI dan klub-klub sepakbola di negeri ini sudi mendengar dan mengubah pandangannya. (eFTe)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun