Maka terjadilah tragedi Kanjuruhan itu. Di bawah sorotan mata dunia.
***
Benar bahwa sepakbola modern adalah bisnis kapitalis. Itu tak terbantahkan. Dengan jalan itulah sepakbola kini bertahan dan berkembang maju.
Tapi pilihan untuk fokus pada dimensi bisnis itu di satu sisi telah membawa konsekuensi mengabaikan dimensi sosial sepakbola. Pengabaian inilah akar tunjang dari kerusuhan-kerusuhan penonton sepakbola di tanah air.
Saya akan coba jelaskan soal ini secara sederhana.
Begini. Secara sosiologis sepakbola adalah aksi massa emional yang diwakilkan pada dua tim yang bertanding di lapangan hijau. Massa dalam konteks ini adalah massa pendukung kedua tim. Baik yang menonton langsung di stadion, maupun yang menonton siaran laga di televisi, dan mayoritas warga daerah "pemilik tim".
Struktur sebuah laga sepakbola dengan demikian adalah struktur representasi. Tim sepakbola adalah representasi suatu daerah. Lalu massa pendukung tim yang datang ke stadion adalah representasi warga suatu daerah.Â
Demikianlah Arema FC mewakili kabupaten/kota Malang. Lalu massa pendukung yang hadir di Stadion Kanjuruhan mewakili warga kabupaten/kota Malang. Hal serupa bisa dikatakan tentang Persebaya. Juga tim-tim sepak bola di berbagai daerah.
Harapan sekaligus target Arema, juga tim-tim lain, adalah kemenangan dan kemenangan dari satu ke lain laga. Sebab kemenangan berarti uang, dan itulah tujuan utama sepakbola kapitalistik. Â Uang bagi pemain, pemilik klub, dan organisasi induk.Â
Harapan massa pendukung tim Arema, mewakili warga (kabupaten/kota) Malang, juga adalah kemenangan tim kesayangannya. Bukan demi uang, sebab mereka rela membayar untuk menyaksikan pemehuhan harapan itu. Tapi demi katarsis sosial, tepatnya katarsis sosio-emosional.
Massa pendukung datang ke stadion untuk melepas diri dari kekalahan hidup. Kekalahan dari himpitan dan deraan berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang menghajar mereka nyaris tanpa kontrol.