Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mulailah Bekerja dengan Kerendahan Hati

16 September 2022   14:33 Diperbarui: 17 September 2022   04:16 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerja dari ThinkstockPhoto via kompas.com

Job hopping, hustle culture, toxic productivity, quiet quitting, and what ever.

Jujur. Saya sebenarnya bingung dengan istilah-istilah di atas. Itu istilah-istilah yang tak ada pada era kerja generasiku, generasi Baby Boomers. 

Seingatku, tahun 1980-an sampai 1990-an, perilaku pindah-pindah kerja (job hopping) itu belum muncul ke permukaan. Begitupun dengan perilaku kerja tak kenal waktu demi kejar target (hustle culture) dan pemuja produktivitas diri (toxic productivity). Apalagi perilaku kerja pas-pasan (quiet quitting).

Oh, ya. Seingatku tahun 1980-an memang ada anekdot tentang langgam pegawai negeri sipil (PNS). Khususnya PNS pemerintah daerah. Dikatakan begini: Senin upacara bendera, Selasa-Kamis baca koran, Jumat kerja bakti, Sabtu persiapan libur. 

Perilaku macam itu lazim disebut dengan istilah "malas". Atau dalam analisis ilmu ekonomi disebut sebagai unproductive. Dulu itu saya bilang involusi PNS, terlalu banyak pegawai untuk terlalu sedikit pekerjaan.

Tentang hustle culture dan toxic productivity, saya tak berkomentar panjang. Sikap saya terhadap para pelakonnya: biarkan saja, nanti juga keok sendiri, lalu jadi klien psikolog.

Tapi tentang job hopping dan quiet quitting, saya ingin berbagi pikiran sedikit. Bukan bermaksud menggurui. Tapi semata memberi semacam pengingat (reminder), sebab pada dua istilah itu saya menangkap adanya muatan "tinggi hati". 

***

Begini. Perilaku job hopping menurut hematku didasari ketidakpuasan. Ada gap antara harapan (ekspektasi) yang terlalu tinggi dan kenyataan (realita) yang terlalu rendah. 

Apa misalnya? Gaji yang terlalu rendah untuk kualitas kerja yang diberikan. Jabatan yang terlalu rendah untuk kinerja yang bagus. Jenis kerja yang terlalu remeh untuk kualifikasi yang tinggi.

Intinya, para job hopper menilai diri terlalu hebat untuk suatu pekerjaan yang dilakoni. Karena itu mereka selalu berpindah-pindah untuk menemukan pekerjaan yang setara dengan nilai dirinya. Ujungnya bisa persis seperti kata pepatah Jawa milih-milih tebu oleh boleng -- pilih ruas dapat buku.

Tentang quiet quitting, alasan ketak-puasan itu juga berlaku. Sudah kerja keras, tapi penghargaan tak memadai. Sudah kasih ide cemerlang, tapi tak didengar atasan. Ya, sudah kerja pas-pasan saja, sesuai standar tugas pokok dan fungsi serta jam kerja. 

Quiet quitting itu kesannya seperti menata keseimbangan kerja dan hidup (work-life balancing). Tapi saya kira tidak begitu. Setiap pekerja selalu ingin lebih kreatif dan produktif, dan mereka tahu untuk mewujudkan itu tidak bisa dengan formula kerja business as usual. Pasti diperlukan korbanan waktu dan energi. Itu bisa mereka terima, sepanjang ada imbalan yang layak untuk setiap tambahan kreativitas dan produktivitas.

Masa gap harapan dan kenyataan itu adalah masa derita (painful period). Di masa itulah faktor mentalitas akan tampil sebagai penentu. Jika mental cemen, maka pasti akan terpental, alias quiet quitting atau kemudian job hopping karena tak kuat lagi. 

Mental cemen di sini bermakna "tinggi hati". Merasa hebat dan karena itu berharap penghargaan lebih. Ternyata justru diabaikan atasan. Ya, sudah, ngambeg saja.

Lain hal bisa mental baja. Pasti tahan banting. Dapat posisi rendah dulu, lakoni dengan baik. Dapat imbalan kecil dulu, lakoni juga. Inovasi atau kreativitas tak dihargai atasan, tak perlu berkecil hati. Intinya, apapun itu, pekerjaan jangan sampai merusak diri.

Sepanjang organisasi tempat kerja menerapkan meritokrasi, pada akhirnya pekerja bermental baja akan naik tangga karier. Hanya soal waktu, cepat atau lambat.

***

Saya tidak sedang bicara omong kosong teoritik. Paparan di atas berdasar pengalaman sendiri. Izinkan saya berkisah sedikit.

Minggu-minggu pertama bekerja di sebuah lembaga penelitian pembangunan di Bogor, kepala lembaga menugaskan saya untuk membuat kliping berita koran tentang pembangunan pedesaan. Hanya dan hanya membuat kliping berita koran.

Mula-mula hati saya berontak. Lha, saya ini kan sarjana. Kok dikasih kerja rendahan. Bermain dengan gunting, lem, dan kertas. Itu kan kerjaan lulusan SD.

Sampai dua minggu pertama kerja, kepala lembaga memanggilku. Lalu ditanya isu-isu pembangunan pedesaan apa saja yang mengemuka dalam dua minggu terakhir -- kalau sekarang istilahnya "viral". Saya tak bisa jawab. Kesombongan seorang sarjana dalam diriku langsung runtuh ke telapak kaki.

Kliping berita koran itu bukan sekadar pekerjaan gunting-tempel. Tapi baca, sarikan, kategorikan, analisis, lalu dokumentasikan. Itu sebabnya seorang sarjana diminta melakukannya. Karena sudah punya kemampuan analisis data.

Begitu kira-kira nasihat kepala lembaga yang membuat wajahku memerah macam kepiting rebus.

Setelah tugas kliping itu dialihkan pada pegawai baru lain, kepala lembaga menugasiku untuk membuat dan menerbitkan newsletter bulanan. 

Belajar dari kasus kliping, kali itu saya tak mau lagi kesalahan terulang. Membuat newsletter berarti tuntutan untukku mengikuti kemajuan setiap proyek penelitian lembaga dan rapat-rapat lembaga. Itulah isi newsletter: memberitakan kegiatan dan pemikiran lembaga kepada pihak luar.

Setelah "lulus" kliping dan newsletter, barulah saya dipercaya untuk menjadi anggota tim penelitian. Lulus anggota tim, kemudian dipercaya menjadi ketua tim penelitian. Sampai akhirnya menjadi koordinator bidang penelitian.

Itu berlangsung dalam tempo tiga tahun kerja penelitian. Sesuatu yang tidak akan pernah tercapai jika saya tetap tinggi hati, lalu job hopping atau quiet quitting di semester pertama kerja.

Puluhan tahun kemudian, saat saya memutuskan pindah kerja ke sebuah perusahaan, pengalaman kerja di lembaga penelitian itu menjadi pengingat untukku. 

Saya sadar memiliki pendidikan tinggi, penguasaan sains yang luas dan dalam, tapi tumbuh dalam kultur penelitian (sains). Ketika memasuki perusahaan, saya paham harus shifting ke budaya perusahaan (bisnis). 

Tak mungkin melakukan lompatan. Harus mulai dari bawah, melakukan pekerjaan-pekerjaan elementer di bidang bisnis. Bekerja sama dengan rekan-rekan kerja yang pendidikannya lebih rendah, dan penguasaan sainsnya terbatas. Tapi mereka jago dalam kerja bisnis. 

Kepada rekan-rekan kerja itulah saya belajar berpikir dan bertindak layaknya seorang pebisnis. Harus strategis dan pragmatis. Ukuran kebenaran bukan kesesuaian teori dan empiri, melainkan antara lain nilai pendapatan dan laba positif. Ide bisnis yang cemerlang adalah sebuah kesalahan jika menyebabkan kerugian.

Begitulah, saya meniti karier di perusahaan sampai ke jenjang jabatan tertinggi yang mungkin diraih semata berdasar penilaian kinerja. Bukan karena kepentingan pemilik modal atau kekuatan politik-ekonomi di luar perusahaan.

***

Barangkali paparan saya terasa usang untuk generasi Y (millenial) dan Z yang karakter sosialnya beda dengan generasi Baby Boomers. Mungkin mereka akan bilang, kami tak lagi bekerja offline di satu organisasi, tapi online untuk berbagai organisasi. Kami sepenuhnya menjual skill dan kreativitas berbasis internet.

Baiklah. Tapi apapun pekerjaan itu, saya pikir ada sesuatu yang imanen: mentalitas. Pengalamanku menunjukkan, memulai kerja dengan tinggi hati akan mengarah pada kegagalan. Sebaliknya, memulai kerja dengan rendah hati akan menuntun pada keberhasilan.

Kamu boleh percaya atau tak percaya pada nasihat si tua bangka ini. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun