Sampai dua minggu pertama kerja, kepala lembaga memanggilku. Lalu ditanya isu-isu pembangunan pedesaan apa saja yang mengemuka dalam dua minggu terakhir -- kalau sekarang istilahnya "viral". Saya tak bisa jawab. Kesombongan seorang sarjana dalam diriku langsung runtuh ke telapak kaki.
Kliping berita koran itu bukan sekadar pekerjaan gunting-tempel. Tapi baca, sarikan, kategorikan, analisis, lalu dokumentasikan. Itu sebabnya seorang sarjana diminta melakukannya. Karena sudah punya kemampuan analisis data.
Begitu kira-kira nasihat kepala lembaga yang membuat wajahku memerah macam kepiting rebus.
Setelah tugas kliping itu dialihkan pada pegawai baru lain, kepala lembaga menugasiku untuk membuat dan menerbitkan newsletter bulanan.Â
Belajar dari kasus kliping, kali itu saya tak mau lagi kesalahan terulang. Membuat newsletter berarti tuntutan untukku mengikuti kemajuan setiap proyek penelitian lembaga dan rapat-rapat lembaga. Itulah isi newsletter: memberitakan kegiatan dan pemikiran lembaga kepada pihak luar.
Setelah "lulus" kliping dan newsletter, barulah saya dipercaya untuk menjadi anggota tim penelitian. Lulus anggota tim, kemudian dipercaya menjadi ketua tim penelitian. Sampai akhirnya menjadi koordinator bidang penelitian.
Itu berlangsung dalam tempo tiga tahun kerja penelitian. Sesuatu yang tidak akan pernah tercapai jika saya tetap tinggi hati, lalu job hopping atau quiet quitting di semester pertama kerja.
Puluhan tahun kemudian, saat saya memutuskan pindah kerja ke sebuah perusahaan, pengalaman kerja di lembaga penelitian itu menjadi pengingat untukku.Â
Saya sadar memiliki pendidikan tinggi, penguasaan sains yang luas dan dalam, tapi tumbuh dalam kultur penelitian (sains). Ketika memasuki perusahaan, saya paham harus shifting ke budaya perusahaan (bisnis).Â
Tak mungkin melakukan lompatan. Harus mulai dari bawah, melakukan pekerjaan-pekerjaan elementer di bidang bisnis. Bekerja sama dengan rekan-rekan kerja yang pendidikannya lebih rendah, dan penguasaan sainsnya terbatas. Tapi mereka jago dalam kerja bisnis.Â
Kepada rekan-rekan kerja itulah saya belajar berpikir dan bertindak layaknya seorang pebisnis. Harus strategis dan pragmatis. Ukuran kebenaran bukan kesesuaian teori dan empiri, melainkan antara lain nilai pendapatan dan laba positif. Ide bisnis yang cemerlang adalah sebuah kesalahan jika menyebabkan kerugian.