Pada tahap pertama, alat musik gondang mulai diterima sebagai pengiring lagu Gereja. Baik itu pada saat kebaktian di dalam gereja maupun di luar gereja.Â
Sebagai contoh, dapat disampaikan di sini sebuah lagu ajakan pertobatan dari gereja  HKBP, Sai Mulak [Pulanglah (Si Anak Hilang)]. Dengan aransemen ulang, lagu itu dibawakan kor dengan iringan sulim (suling Batak), taganing (perkusi Batak), hasapi (kecapi Batak) dipadu organ elektrik. Hasilnya? Sangat indah sekaligus magis, dalam arti sakral.
Gereja HKBP bahkan sudah menerima pelaksanaan Gondong Bolon dalam adat mangongkal holi, memindahkan kerangka leluhur ke dalam makam beton. Untuk waktu yang lama, HKBP  memandang adat mangongkal holi sebagai praktek hasipele-beguon. Sekarang pendeta boleh mamuha gondang, membuka Gondang Bolon, dalam pelaksanaan adat mangongkal holi. Pada kesempatan itu, pendeta akan mengingatkan sejumlah paminsangion, larangan Gereja, semisal larangan memanggil roh leluhur dan memuja Dewata Batak.
Tapi dibanding HKBP, Gereja Katolik jauh lebih progresif dalam penerimaan unsur-unsur budaya Batak, khususnya Gondang Bolon ke dalam liturgi gerejani. Â Hal itu terjadi terutama setelah Konsili Vatikan II (1962-1965) merumuskan perutusan sebagai proses masuk ke dalam dan menjadikan budaya setempat sebagai sarana penginjilan. Pendekatan ini disebut sebagai gereja inkulturatif.
Belakangan hari (1990), Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Ensilik Redemptoris Missio yang menekankan inkulturasi sebagai upaya mewujudkan Injil dalam budaya yang beragam, sekaligus upaya membawa bangsa-bangsa bersama budayanya ke dalam persekutuan Gereja.
Di awal 1970-an, saya sudah mengalami inkulturasi dalam Gereja Katolik. Bukan saja berupa lagu-lagu gereja yang mengadopsi komposisi lagu rakyat atau, kemudian, adopsi struktur dan ornamen Rumah Adat Batak sebagai arsitektur gereja. Tapi juga dengan mengintegrasikan musik Gondang Bolon ke dalam Perayaan Misa Syukur Pesta Gotilon (Pesta Panen). Persembahan antara lain diantar ke altar dengan iringan Gobdang Bolon.
Satu contoh integrasi Gondang Bolon ke dalam ibadah gereja Katolik adalah pada upacara mamuha gondang sarimatua/saurmatua. Berikut adalah satu contoh seorang sintua (penatua) Gereja Katolik memimpin ibadah mamuha gondang sarimatua untuk seorang ibu dalam keluarga Batak Katolik di huta Sidumaduma, Samosir.
Bentuk inkulturasi dalam Gondang Bolon Saurmatua tersebut tampak pada hal-hal berikut.
Pertama, Sintua membuka Gondang Bolon dengan membaca doa Katolik berdasar buku ibadat "Mamuha Gondang hu na Saurmatua Adat Batak". Buku ibadah ini resmi dikeluarkan Gereja Katolik dengan persetujuan uskup setempat.