"Oh, iya, baik, Mas." Poltak menerima amanah itu tanpa pikir panjang. Kan, gentlemen Batak.
"Ya, Tuhan. Kenapa pula aku harus ketitipan istri orang. Mana cantik pula." Poltak baru merasa berat hati saat bus "Limex" mulai bertolak ke arah Cibinong.
Poltak memperhatikan wajah perempuan itu sejenak. "Usianya belum genap duapuluh. Kira-kira," Poltak membathin, "Mungkin kawin muda."
"Ke Yogya, dek?" Poltak membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan bodoh. Ini kan bukan bus jurusan Medan, Poltak dodol?
"Inggih, Mas." Jawaban bodoh karena pertanyaannya juga bodoh.
"Oh, sama kita, dek." Tanggapan unfaedah yang tambah bodoh.
 "Oh, inggih." Bodoh bekelanjutan.
Setelah itu dua orang bodoh yang duduk bersisian diam dengan pikiran-pikiran bodohnya.
Tapi ghalibnya begitulah. Para penumpang bus yang saling asing cenderung pamer kebodohan untuk sekadar memecah kebekuan. "Panas banget, ya," kata seorang lelaki yang berkeringat kepada seorang perempuan asing yang duduk di sampingnya di dalam bus PPD, di satu siang yang terik banget di Jakarta. Â "Gak!" balas perempuan itu judes sambil kipas-kipas kepanasan. Â
Cibinong telah lewat, Pulogadung juga telah lewat. Tanpa suatu kesan berarti.
Bus melaju menembus jalan raya Bekasi, terus ke Cikarang, Karawang, Â lalu Cikampek dan kemudian Sukamandi Subang.Â