Itu ekspresi keraguan. Ragu bahwa keterangan tentang "Kematian Brigadir J" (akibat tembak-menembak) bukan keterangan yang sepenuhnya didasarkan pada bukti faktual (a.l. rekaman CCTV).
Apakah hanya publik yang meragukan penjelasan awal polisi? Â Tidak. Sekurangnya ada dua pejabat negara yang pernyataannya mengindikasikan keraguan.
Pertama, pernyataan Presiden RI Joko Widodo terkait peristiwa itu: "Proses hukum harus dilakukan."Â
Makna pernyataan itu, Â peristiwa "Kematian Brigadir J" harus diusut tuntas di jalur hukum positif. Â Hukum positif berarti objektif, bebas dari subjektifitas khususnya kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Hanya kepentingan institusi Polri yang mesti dikedepankan.
Kedua, pernyataan eksplisit Menko Polhukam Machfud MD tentang adanya kejanggalan dalam keterangan awal polisi terkait "Kematian Brigadir J". Ada fakta atau mata rantai yang "hilang" sehingga keterangan awal itu menjadi taklogis. Â
Karena Presiden dan Menko Polhukam sudah bicara, maka Kapolri langsung responsif dengan membentuk Tim Khusus untuk mengungkap kasus "Kematian Brigadir J". Tim itu dipimpin langsung oleh Wakapolri.
Dengan dibentuknya Tim Khusus maka penanganan peristiwa "Kematian Brigadir J" resmi melibatkan peran sejumlah jenderal polisi. Mungkin ini pertama kalinya penanganan kasus tembak-menembak antara dua orang polisi berpangkat rendah harus melibatkan para jenderal.Â
Itu menandakan peristiwa "Kematian Brigadir J" adalah sebuah "peristiwa besar" yang berpotensi mengguncang eksistensi dua pihak. Eksistensi institusi Polri sendiri dan/atau atau eksistensi seorang/sejumlah petinggi Polri tertentu.
Pembentukan Tim Khusus itu sendiri sebenarnya mengisyaratkan dua hal.Â
Pertama, adanya keraguan terhadap keterangan awal polisi sehingga perlu dibentuk suatu Tim Khusus Polri untuk menangani kasus tersebut.
Kedua, adanya keraguan terhadap keandalan metode pengungkapan yang diterapkan polisi pada awalnya, sehingga perlu diterapkan metode yang lebih handal, yaitu metode berbasis sains yang rigid dan obyektif.