Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pak Kapolri, Tidak Ada Kebenaran yang Berasal dari Kebohongan

19 Juli 2022   14:55 Diperbarui: 19 Juli 2022   15:22 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Foto: Azhar BM/detikcom via detik.com)

Sudah sebelas hari berlalu sejak  peristiwa kematian Brigadir Polisi Joshua Nopriansyah Hutabarat (Brigadir J). 

Sebegitu lama, baru ada tiga fakta terkait perisiwa itu yang dapat diterima kebenarannya.

Pertama, seorang polisi berpangkat brigadir bernama J telah tewas dengan luka tembak dan luka lain pada tubuhnya.

Kedua, almarhum Brigadir J telah dimakamkan tanpa upacara resmi kepolisian di kampungnya, Sungai Bahar, Jambi.

Ketiga, Kapolri Jenderal Listio Sigit Prabowo telah membentuk sebuah tim khusus yang diketua Wakapolri untuk menyelidiki peristiwa "Kematian Brigadir J" itu.

Selebihnya, masih gelap. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, di mana tempat kejadian, kapan persisnya terjadi, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana kejadiannya?

Sejauh ini, berdasar keterangan awal polisi -- dalam hal ini disampaikan oleh Kapolres Jaksel dan juga Karopenmas Divisi Humas Polri -- hanya ada tiga orang yang terlibat langsung dalam peristiwa itu. Brigadir J sendiri, Bharada E, dan PC yang merupakan istri dari Irjen FS, Kadiv Propam Polri.  

Kejadiannya, masih menurut keterangan awal polisi, J melakukan perbuatan taksenonoh kepada PC di kamar pribadi PC. PC berteriak. E datang hendak menolong. J menembak E.  E balas menembak J. Terjadi tembak-menembak. Akhirnya J tewas dengan tujuh luka tembak. E selamat tanpa luka tembak. 

Oleh publik, keterangan awal polisi masih dianggap sebagai "cerita", belum sebagai "temuan fakta yang sebenarnya". Alasannya, keterangan itu diberikan 3 hari setelah kejadian dan tanpa barang bukti. Publik lalu berspekulasi, dalam jeda waktu 3 hari itu "cerita" apa yang telah "dikarang"? Fakta-fakta apa yang mungkin telah ditutupi?

Intinya, publik meragukan kebenaran empirik keterangan awal polisi tentang peristiwa "Kematian Brigadir J". Karena itulah muncul pameo: "Polisi tembak-menembak, CCTV mati duluan." 

Itu ekspresi keraguan. Ragu bahwa keterangan tentang "Kematian Brigadir J" (akibat tembak-menembak) bukan keterangan yang sepenuhnya didasarkan pada bukti faktual (a.l. rekaman CCTV).

Apakah hanya publik yang meragukan penjelasan awal polisi?  Tidak. Sekurangnya ada dua pejabat negara yang pernyataannya mengindikasikan keraguan.

Pertama, pernyataan Presiden RI Joko Widodo terkait peristiwa itu: "Proses hukum harus dilakukan." 

Makna pernyataan itu,  peristiwa "Kematian Brigadir J" harus diusut tuntas di jalur hukum positif.  Hukum positif berarti objektif, bebas dari subjektifitas khususnya kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Hanya kepentingan institusi Polri yang mesti dikedepankan.

Kedua, pernyataan eksplisit Menko Polhukam Machfud MD tentang adanya kejanggalan dalam keterangan awal polisi terkait "Kematian Brigadir J". Ada fakta atau mata rantai yang "hilang" sehingga keterangan awal itu menjadi taklogis.  

Karena Presiden dan Menko Polhukam sudah bicara, maka Kapolri langsung responsif dengan membentuk Tim Khusus untuk mengungkap kasus "Kematian Brigadir J". Tim itu dipimpin langsung oleh Wakapolri.

Dengan dibentuknya Tim Khusus maka penanganan peristiwa "Kematian Brigadir J" resmi melibatkan peran sejumlah jenderal polisi. Mungkin ini pertama kalinya penanganan kasus tembak-menembak antara dua orang polisi berpangkat rendah harus melibatkan para jenderal. 

Itu menandakan peristiwa "Kematian Brigadir J" adalah sebuah "peristiwa besar" yang berpotensi mengguncang eksistensi dua pihak. Eksistensi institusi Polri sendiri dan/atau atau eksistensi seorang/sejumlah petinggi Polri tertentu.

Pembentukan Tim Khusus itu sendiri sebenarnya mengisyaratkan dua hal. 

Pertama, adanya keraguan terhadap keterangan awal polisi sehingga perlu dibentuk suatu Tim Khusus Polri untuk menangani kasus tersebut.

Kedua, adanya keraguan terhadap keandalan metode pengungkapan yang diterapkan polisi pada awalnya, sehingga perlu diterapkan metode yang lebih handal, yaitu metode berbasis sains yang rigid dan obyektif.

Keraguan atas keterangan awal polisi tidak otomatis bermakna ketakbenaran. Tapi dia menunjuk pada kebutuhan pengujian kembali kebenaran dari keterangan itu.  Itu semacam swakritik polisi.

Tapi suka atau taksuka, setuju atau taksetuju, ragu atau yakin, satu-satunya keterangan yang resmi tentang "Kematian Brigadir J" adalah keterangan awal polisi tadi. Semua langkah pengusutan kembali kasus itu, oleh pihak manapun, harus berangkat dari "keterangan awal" itu.

Bisa diduga pekerjaan Tim Khusus, yang akan menggunakan pendekatan forensik saintifik, akan terfokus pada pembuktikan kebenaran (verifikasi) atau sebaliknya kepalsuan (falsifikasi) keterangan awal polisi tentang kasus "Kematian Brigadir J".

Bukti-bukti baru akan dikumpulkan dan diuji, terutama bukti-bukti forensik dari tubuh Brigadir J lewat visum et repertum dan otopsi ulang oleh pihak netral. Juga  bukti-bukti forensik digital  seperti data/informasi dari HP dan CCTV .

Berdasar bukti-bukti yang valid atau terpercaya, Tim Khusus kemungkinan akan tiba pada salah satu dari tiga kesimpulan berikut.

Pertama, menerima sepenuhnya  keterangan awal polisi sebagai kebenaran tentang "Kematian Brigadir J." Artinya, Tim Khusus menemukan  bukti-bukti selaras dan menguatkan keterangan awal polisi.  Kesimpulannya: kematian Brigadir J diakibatkan tembakan dari Bharada E yang membela diri dan melindungi PC selaku istri atasannya.

Kedua, menolak sepenuhnya keterangan awal polisi sebagai kebenaran tentang "Kematian Brigadir J." Artinya, Tim Khusus menemukan  bukti-bukti bertentangan dan melemahkan keterangan awal polisi.  Kesimpulannya:  kematian Brigadir J bukan diakibatkan tembakan dari Bharada E yang membela diri dan melindungi PC selaku istri atasannya.

Ketiga, menerima sebagian dan menolak sebagian lagi keterangan awal polisi sebagai kebenaran tentang "Kematian Brigadir J". Artinya,   Tim Khusus menemukan bukti-bukti yang menunjukkan ketakcukupan (insufficient) dan ketakvalidan  (invalidity) pada sebagian keterangan awal polisi.  Kesimpulannya: kematian Brigadir J terjadi akibat tindakan kekerasan yang lebih kompleks dari sekadar tembakan Bharada E yang membela diri dan melindungi istri atasannya.

Kemungkinan ketiga ini mungkin saja terjadi. Sebab Tim Pengacara pihak Brigadir J telah melaporkan kasus kematian Brigadir J ke Bareskrim Polri dengan menyertakan bukti-bukti permulaan (bukan hasil visum/otopsi) berupa foto-foto luka-luka dan cidera di tubuh Brigadir J yang diduga bukan akibat tembakan.  Tim Pengacara melaporkan kasus "Kematian Brigadir J" sebagai kematian akibat pembunuhan berencana. 

Pengusutan secara hukum atas kasus "Kematian Brigadir J" itu  kini diinisiasi dua pihak dengan sudut pandang yang berbeda, dan keduanya ditangani institusi kepolisian yang sama.

Dari satu pihak, Tim Khusus Polri melakukan pengusutan kasus tersebut dengan bertitik-tolak pada keterangan awal polisi, yaitu bahwa "Brigadir J tewas ditembak Bharada E yang membela diri dan melindungi istri atasan."

Dari lain pihak,  Tim Pengacara Keluarga Brigadir J melakukan upaya hukum untuk mengusut kasus tersebut dengan bertitik tolak pada dugaan permulaan bahwa "Brigadir J tewas akibat pembunuhan berencana dengan pelaku tidak tunggal."

Publik kini menunggu perkembangan pengustutan kasus "Kematian Brigadir J" oleh kedua pihak tersebut.  Apakah Tim Khusus Polri dan Tim Pengacara Keluarga Brigadir J akan bergerak saling mendekati sehingga tiba pada satu kesimpulan yang sama? Atau, sebaliknya, apakah kedua tim itu akan bergerak saling menjauh sehingga tiba pada dua kesimpulan yang bertentangan?

Tujuan akhir dari kedua tim itu tentu saja untuk tiba pada penjelasan yang benar dari segi hukum positif tentang penyebab kematian Brigadir J.  

Ada satu otoritas tertinggi di tubuh Polri untuk memastikan temuan Tim Khusus dan Tim Pengacara itu tiba pada satu kebenaran yang bisa diterima secara logis yaitu  Kapolri sendiri. Kapolri sudah melibatkan diri dalam pengungkapan kasus ini lewat pembentukan Tim Khusus.

Tentu Pak Kapolri, dalam kapasitas sebagai pimpinan tertinggi Polri, sudah memiliki patokan nilai dan norma sendiri untuk memastikan pengungkapan kebenaran tentang "Kematian Brigadir J".  

Namun demikian, mungkin baik juga untuk mengingat satu patokan nilai yang Pak Kapolri pasti sudah faham juga. Sebagaimana "... tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran" (1 Yoh. 2:21) maka  berlaku pula hal sebaliknya.  "Tidak ada kebenaran yang berasal dari kebohongan".

Dengan mengatakan patokan nilai itu, maka baiklah jika publik memberikan dukungan kepada Pak Kapolri dan Polri untuk mengungkap kebenaran tentang kematian Brigadir J.  Berhenti menebar spekulasi liar tanpa bukti tentang kasus tersebut adalah salah satu dukungan terbaik yang dapat diberikan publik. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun