Poltak misuh-misuh. Gara-gara sampahnya direcehkan Mas Sarip, tukang angkut sampah langganan.
Duduk soalnya begini, wahai para Homo kepoensis.
Poltak baru tahu kalau biaya bulanan angkut sampah di Jalan Amat Buras sama besarnya dengan di Gang Sapi. Sama-sama Rp 70.000 per bulan per rumah.
Padahal Jalan Amat Buras itu tempat mukim orang-orang elite, sedangkan Gang Sapi tempat mukim orang-orang pabelieut. Untuk adilnya, biaya di Gang Sapi mestinya lebih murah, dong. Pantesnya Rp 50,000 gitu.
"Maaf, Pak. Gak bisa gitu." Mas Sarip menolak saat Poltak mengusulkan penurunan biaya angkut sampah, lengkap dengan argumennya.
"Lho, kenapa?"
"Soalnya beda kualitas sampah, Pak."
"Maksudmu?"
"Sampah Jalan Amat Buras masih bisa dipakai dan dijual. Sampah Gang Sapi  sampah beneran."
"Oh, begitu, ya." Poltak kalah argumen lalu masuk rumah dam memberitahu Berta, istrinya, jawaban Mas Sarip.
"Bah, itu artinya si Sarip ngatain kita miskin!" kata Berta singit. Soal kaya miskin perempuan lebih sensitif.Â
"Bah, kurang ajar si Sarip!" Poltak meraih muntu dan lari keluar untuk mengepruk jidat Mas Sarip.
Tapi untunglah Mas Sarip sudah pergi, sehingga jidatnya gagal jadi ulekan.
"Si Sarip lari ketakutan, tuh!" lapor Poltak kepada Berta. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H