Nama mahasiswa miskin itu Poltak -- suatu pseudonim. Merantau ke Jawa untuk pendidikan yang lebih baik. Inilah kisah survivalnya yang mungkin absurd.
Poltak perlu menebalkan kulit muka saat mengagihkan kisah ini. Bukan karena isinya memalukan. Bukan. Tapi karena tak lagi relevan dengan peri hidup mahasiswa masa kini.
Coba dipikir sendirilah. Anak Poltak kuliah sejak 2020 di sebuah universitas di Jawa Tengah. Tapi sampai hari ini dia tak pernah menginjak kampusnya. Kuliah dijalaninya sambil rebahan di tempat tidur. Semua serba daring.
Bayangkan kalau Poltak bilang pada anaknya, "Bapak dulu waktu merantau kuliah dari Toba ke Bogor ...." Bah, pasti langsung dipotong, "Udah deh, Ayah. Itu kuno. Sekarang kuliah gak perlu merantau jauh. Cukup rebahan di kamar."
Kan, bikin patah semangat kalau responnya begitu. Jadinya, malas cerita.
Tapi memang harus tahu dirilah. Empat dekade yang lalu, Poltak tergolong pelaku Migrasi 1.0, atau paling tinggi Migrasi 2.0. Untuk mengikuti kuliah di IPB, dia harus bermigrasi secara fisik dari pelosok Toba ke kota Bogor.
Tahu apa namanya itu? "Batak Tembak Langsung" alias BTL, Saudara! Dari kampung langsung tembak ke Jawa. Zonder mampir dulu di kota Medan.
Lha, anak Poltak kini pelaku Migrasi 4.0. Untuk mengikuti kuliah, dia hanya perlu bermigrasi dari ruang kelas fisikal ke ruang kelas virtual lewat jasa internet.
Dia tak perlu merantau ke Jawa Tengah. Sehingga tak perlu juga pusing dengan keribetan kost, transport, makan, cuci pakaian, hiburan, dan lain sebagainya.
Jadi, kalau para pembaca adalah mahasiswa pelaku Migrasi 4.0, anggap saja tulisan ini humor belaka. Hitung-hitung kesempatan untuk menertawakan kekunoan orangtuamu dulu.
Untuk pembaca yang tergolong pelaku Migrasi 1.0 atau 2.0, anggap tulisan ini sebagai nostalgia. Dulu meringis, sekarang pringas-pringis.
Catat, subyek tulisan ini adalah "mahasiswa miskin", dan substansinya "strategi survival". Jadi sudah pasti yang akan diceritakan di sini adalah cara-cara mencapai "kepuasan optimal" dengan "dana minimal".Â
Sebagai latar ajang, perlu diketahui Poltak bermigrasi atau merantau kuliah ke Bogor awal 1980-an. Kiriman wesel bulanan dari kampung waktu itu Rp 30,000 per bulan. Ongkos bemo di kota Bogor masih Rp 25, bubur kacang ijo ketan item Rp 25, dan tiket bioskop Rp 300 - 1,000. Tiket masuk Kebun Raya Rp 25 untuk pelajar/mahasiswa, atau gratis jika lewat gorong-gorong atau kolong jembatan.Â
Informasi lainnya. Biaya kuliah di IPB waktu itu Rp 25,000 per tahun, dicicil Rp 12,000 per semester. UMR kota Bogor tercatat Rp 600 per hari, atau Rp 18,000 per bulan (30 hari). Harga beras Rp 250-350 per kg, harga gula pasir Rp 300 per kg. Kurs US$ 1 adalah Rp 626, sehingga nilai wesel bulanan Poltak adalah US$ 47.92.
Jelas Poltak tergolong mahasiswa miskin di awal 1980-an itu. Lantas, bagaimana cara Poltak -- dan kawan-kawan sesama mahasiswa mahasiswa rantau miskin -- bertahan?
***
Berikut adalah sejumlah strategi survival yang diterapkan Poltak. Sekali lagi, ini adalah cara-cara awal 1980-an di Bogor. Sekarang mungkin terdengar absurd, sekurangnya nggilani.
Modal jaringan sosial seasal. Pertama tiba di Bogor, Poltak tidak kenal seorangpun. Eloknya, kakak kelasnya di SMA -- yang tak kenal juga karena beda tiga tahun -- sudah mencarinya pada hari pendaftaran ulang di kampus IPB.
Jaringan sosial se-SMA itu kemudian menjadi jalan masuk Poltak ke jaringan sosial sedaerah asal, lazimnya sesuku juga.Â
Jaringan sosial seasal yang primordial itulah modal utama perantau untuk survival. Jaringan itu menjadi sumber informasi tentang kontrakan/kost, perkuliahan, kampus, dan lain-lain. Juga sumber bantuan dalam kondisi darurat, semisal sakit atau kesulitan mendapat kontrakan.
Lokasi tinggal di perkampungan. Pasti murah biaya kontrak kamar/rumah atau kost di situ. Memang situasinya padat, sumpek, dan riuh-rendah. Tak apalah. Kamar kontrakan/kost cuma dihuni malam hari. Siang, Poltak seharian di kampus, kuliah atau belajar di perpustakaan.
Mengikuti arahan senior, pilihan lokasi tinggal Poltak bersama dua rekannya sesama BTL waktu itu adalah Babakan Tegalmangga, terletak di belakang kampus IPB Baranangsiang.Â
Ingat, ya, kalau nama satu tempat ada kata "babakan", itu pasti perkampungan padat. Seperti juga Babakan Fakultas, Babakan Gununggede, Babakan Sirna, dan Babakan Peundey.Â
Babakan Tegalmangga itu lokasinya sangat dekat dengan kampus. Kalau mau ke kampus, cukup jalan kaki. Hemat ongkos transportasi. Badan jadi sehat pula turun-naik lembah.
Keuntungan lain, bisa cepat belajar bahasa Sunda kepada warga setempat. Penguasaan bahasa itu penting. Agar lebih paham adat setempat dan mudah diterima warga sekitar. Perantau harus bisa menyatu dengan komunitas barunya.
Sekamar bertiga. Poltak dengan dua orang teman BTL-nya mengontrak satu kamar di rumah seorang warga Tegalmangga untuk ditempati bersama. Harganya Rp 75,000 per tahun. Dibagi tiga, Rp 25,000 per orang. Murah, kan?
Kamar mandi dan cuci gabung dengan pemilik rumah. Jadi Poltak dan temannya harus pintar-pintar memilih waktu mandi dan cuci, agar tak rebutan.
Ada fasilitas lain. Tiap malam Minggu Poltak dan kedua temannya dibolehkan pemilik rumah ikut menonton TV hitam-putih di rumahnya. Acara yang ditunggu di TVRI, ganya dan hanya TVRI, adalah "Aneka Ria Safari" dan "Film Cerita Akhir Pekan".
Selain jadi murah, ada alasan lain kenapa Poltak dan temannya harus bertiga sekamar. Ingat, mereka itu BTL. Kalau berdua nanti bakal main catur melulu, lupa belajar. Berempat, main kartu, lupa belajar juga. Kalau bertiga, paling nyanyi trio. Ini risikonya paling kecil, karena Poltak dan temannya tak punya gitar.Â
Bon makan di warung kampung. Setelah tempat tinggal, maka urusan makan menjadi prioritas kedua yang mesti dipastikan.Â
Di Babakan Tegalmangga itu ada warung makan khusus mahasiswa dengan sistem bon bulanan. Itulah solusi untuk para mahasiswa perantau miskin.Â
Poltak dan teman-temannya makan siang dan malam di warung itu. Tiap selesai makan, ibu pemilik warung atau anak gadisnya mencatat harga makanan dalam buku bon makan. Nanti, awal bulan setelah mendapat kiriman wesel, bon akan dilunasi.
Asyik kalau anak gadisnya yang melayani. Tinggal menyapa "Neng Geulis", dengan suara serak-serak basah, porsi sayur otomatis diperbanyak. Atau dipilihkan potongan tahu/tempe/daging yang terbesar. Lumayan, kan?
Kisaran total bon makan Poltak pada awal 1980-an adalah Rp 15,000-20,000 per bulan. Sebab kisaran harga makanan per porsi adalah Rp 250 (nasi, sayur, tahu/tempe/ikan asin) sampau Rp 500 (lauk daging). Harus pintar mengatur menu sendiri.
Setelah dipotong untuk bayar utang makan, maka Poltak masih punya saldo uang saku Rp 10,000-15,000.Â
Saldo itu harus diatur lagi alokasinya untuk berbagai keperluan. Semisal beli diktat, fotokopi soal ujian, jajan (es doger/bakso/bubur kacang ijo), ongkos bemo/angkot, kolekte gereja, nonton bioskop, beli paracetamol, dan lain-lain.
Diktat dan buku ajar lungsuran dari kakak kelas. Ini bisa menghemat banyak pengeluaran. Daripada beli diktat/buku ajar sekali pakai, Poltak memilih untuk mencari lungsuran kakak kelas. Toh isinya sama saja, cuma tampilannya saja kumal dan penuh coretan. Coretan itu biasanya tambahan penjelasan.Â
Di sinilah antara lain manfaat jaringan sosial seasal. Kakak kelas atau senior dalam jaringan itu lazimnya murah hati mewariskan diktat/buku ajar kepada adik kelas atau juniornya.
Tapi tentu saja Poltak harus pro-aktif menyambangi kakak kelas/seniornya. Bertanya sekiranya ada diktat/buku ajar yang bisa dilungsurkan. Atau mencari tahu sekiranya ada senior lain yang punya.Â
Pokoknya, malu bertanya sesak napas. Alamat keluar banyak duit untuk beli diktat/buku ajar.
Bergaul dengan mahasiswa etnis lain. Merantau itu kesempatan menjadi Indonesia seutuhnya. Sebab bertemu dalam satu "belanga" dengan teman-teman dari etnis dan agama lain. Itu membuat wawasan lebih terbuka dan hidup lebih berwarna.
Begitulah. Poltak tak mau menyia-nyiakan kesempatan menjadi "100% Batak 100% Indonesia". Dia bergaul dengan sesama mahasiswa etnis Sunda, Jawa, Minang, Aceh, Makasar, Dayak, Ambon, NTT, dan lain-lain. Banyak nilai-nilai kehidupan yang dipelajarinya dari mereka.
Dari mahasiswa etnis Jawa khususnya, Poltak belajar tentang ketekunan dan keliatan. Angka IQ bisa pas-pasan, tapi ketekunan dan keliatan akan mengantar pada peningkatan penguasaan materi perkuliahan. Itu kiat terhindar dari status mahasiswa "residivis" (pengulang) atau drop-out (DO).
Aktif berorganisasi untuk perbaikan gizi. Berorganisasi untuk belajar manajemen sosial dan membangun jaringan sosial, ya, itu tujuan utama, idealnya. Tapi bagi Poltak, aktif dalam organisasi mahasiswa ekstra-kampus juga diperhitungkan sebagai modus perbaikan gizi.
Sering-sering organisasi itu melakukan program-program agak besar. Misalnya pelatihan kepemimpinan, bazar, retret, dan lain-lain. Nah, Poltak rajin ikut jadi panitia karena selalu ada jatah kosumsinya. Lumayan, enak, bergizi, dan gratis.
Nonton bioskop bayar seratus rupiah. Ini yang paling seru. Nonton murah tapi puas.Â
Awal 1980-an ada enam bioskop di Bogor. Ramayana Theatre (Pasar Ramayana), Sukasari Theatre (Sukasari), Bogor Theatre (Pasar Bogor), Ranggagading Theatre (Jl Ranggagading), Nasional Theatre (Jl. Kapten Muslihat), dan President Theatre (Jl. Merdeka).
Dua bioskop tersebut pertama tergolong elite, tiketnya Rp 750-1,000. Lainnya bioskop sejuta umat, tiketnya Rp 300-500. Tiket murah dikenakan untuk pertunjukan pagi hari, Matine Show, atau untuk kursi di "kelas kambing" (barisan terdepan).
Poltak dan teman-temannya hanya sanggup bayar tiket nonton di bioskop sejuta umat. Pilihan utamanya Bogor Theatre yang memutar film-film Barat, kadang Mandarin, dan Ranggagading Theatre yang khusus memutar film-film silat Mandarin.Â
Untuk mendapatkan tiket termurah, yaitu Rp 100, Poltak dan kawan-kawan menerapkan strategi "telat". Tidak perlu tiket resmi. Cukup bayar langsung Rp 100 per orang kepada petugas jaga pintu. Syaratnya, penonton tak ramai, dan film sudah diputar 15 menit yang lalu.
Kehilangan 15 menit awal sebuah film gak masalah. Masalah kalau kehilangan 15 menit terakhir. Karena ringkasan cerita film tersaji di akhir.
Lagi pula, bayar cuma Rp 100, berharap nonton film lengkap. Gak tahu diri namanya itu. Cari bioskop "misbar" (gerimis bubar) milik Perbiki (Persatuan Bioskop Keliling Indonesia) aja, sana. Itu gratis.
Pantang pacaran sebelum lulus. Pacaran itu bikin cengeng, tak baik untuk perantau. Entah itu benar atau tidak, pokoknya Poltak sudah menemukan alasan itu untuk tidak pacaran sebelum lulus kuliah.Â
Mungkin tak salah juga. Poltak melihat beberapa temannya yang punya pacar memang jadi cengeng. Sebentar-sebentar stel frekuensi radio untuk mendengar lagu-lagu cinta dari Christine Panjaitan, Iis Sugianto, Maya Rumantir, Nia Daniati, Betharia Sonata Endang S. Taurina, Ratih Purwasih, Jamal Mirdad, Diana Nasution, Eddy Silitonga, dan lain-lain. Yah, kapan belajarnya. Bisa-bisa jadi "residivis" nanti.
Tapi alasan utama tentulah alasan rasional ekonomi. Dengan wesel bulanan Rp 30,000 mustahil bagi Poltak untuk membiayai kegiatan pacaran. ekurangnya, kan, mesti traktir nonton, makan bakso, coklat batangan, es doger, ongkos bemo, dan lain sebagainya. Lha, pasti tekor, dong.
Pantang pulang kampung sebelum lulus. Kedengarannya heroik. Tapi alasan sebenarnya untuk menekan pembengkakan biaya total kuliah.Â
Cobalah dipikir. Kalau tiap tahun pulang kampung ke Toba, butuh biaya ongkos kapal laut dan bus Rp 75,000 pulang-pergi. Kalau empat kali pulang, berarti total Rp 300,000. Bandingkan dengan biaya kuliah 4 tahun, cuma Rp 100,000. Bah, mana tahanlah.
Lagi pula, menurut Poltak seorang perantau kuliah harus pulang dengan ijazah sarjana di tangan. Itu baru sukses namanya. Dia tak mau seperti seorang temannya. Berangkat kuliah ke Jawa, setelah lima tahun pulang ke Toba membawa seorang istri dan seorang anak, tanpa ijazah sarjana.
***
Sampai di sini, kisah survival Poltak di rantau Jawa saat kuliah pasti terasa absurd, kalau bukan menggelikan. Semua strategi Poltak di awal 1980-an itu kini bisa dilakukan para milenial tanpa bermigrasi secara fisik.
Konsep merantau telah mengalami revolusi. Dari perpindahan geografis dari satu ke lain lokasi menggunakan wahana transportasi, menjadi perpindahan mental dari ruang fisik ke ruang maya menggunakan wahana internet.
Dengan demikian, strategi survival Poltak menjadi irrelevan. Mahasiswa tak perlu hadir ke kampus secara fisik. Semua bisa dilakukan dari rumah sendiri secara daring: kuliah, praktikum, diskusi, seminar, konsultasi, skripsi, ujian, sampai wisuda. Pacaran dan nonton juga bisa daring.Â
Jadi untuk apa semua kisah survival atau jungkir balik Poltak di rantau Jawa ini kalau bukan untuk ditertawakan? Aneh saja kalau ada orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah absurd itu. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H