Tapi alasan utama tentulah alasan rasional ekonomi. Dengan wesel bulanan Rp 30,000 mustahil bagi Poltak untuk membiayai kegiatan pacaran. ekurangnya, kan, mesti traktir nonton, makan bakso, coklat batangan, es doger, ongkos bemo, dan lain sebagainya. Lha, pasti tekor, dong.
Pantang pulang kampung sebelum lulus. Kedengarannya heroik. Tapi alasan sebenarnya untuk menekan pembengkakan biaya total kuliah.Â
Cobalah dipikir. Kalau tiap tahun pulang kampung ke Toba, butuh biaya ongkos kapal laut dan bus Rp 75,000 pulang-pergi. Kalau empat kali pulang, berarti total Rp 300,000. Bandingkan dengan biaya kuliah 4 tahun, cuma Rp 100,000. Bah, mana tahanlah.
Lagi pula, menurut Poltak seorang perantau kuliah harus pulang dengan ijazah sarjana di tangan. Itu baru sukses namanya. Dia tak mau seperti seorang temannya. Berangkat kuliah ke Jawa, setelah lima tahun pulang ke Toba membawa seorang istri dan seorang anak, tanpa ijazah sarjana.
***
Sampai di sini, kisah survival Poltak di rantau Jawa saat kuliah pasti terasa absurd, kalau bukan menggelikan. Semua strategi Poltak di awal 1980-an itu kini bisa dilakukan para milenial tanpa bermigrasi secara fisik.
Konsep merantau telah mengalami revolusi. Dari perpindahan geografis dari satu ke lain lokasi menggunakan wahana transportasi, menjadi perpindahan mental dari ruang fisik ke ruang maya menggunakan wahana internet.
Dengan demikian, strategi survival Poltak menjadi irrelevan. Mahasiswa tak perlu hadir ke kampus secara fisik. Semua bisa dilakukan dari rumah sendiri secara daring: kuliah, praktikum, diskusi, seminar, konsultasi, skripsi, ujian, sampai wisuda. Pacaran dan nonton juga bisa daring.Â
Jadi untuk apa semua kisah survival atau jungkir balik Poltak di rantau Jawa ini kalau bukan untuk ditertawakan? Aneh saja kalau ada orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah absurd itu. (eFTe)