Tiba saatnya kita bicara tentang rapport, keakraban, antara guru dan murid. Itulah yang memudar dari ruang kelas akibat pengutamaan media ajar digital di satu sisi, dan penyingkiran papan tulis di sisi lain.
Papan tulis itu adalah media komunikasi ajar paling akrab dan handal. Komunikasi dalam arti pembicaraan dua arah antar dua subyek yang setara, guru dan murid, yang menghasilkan suatu kesepahaman atas satu soal.
Seorang guru dapat meminta seorang atau dua orang murid untuk bersama-sama mengerjakan soal di papan tulis. Di situ terjadi diskusi intensif, koreksi kesalahan, trial and error, hingga tiba pada kesepahaman, lalu kebenaran ilmiah yang dapat diterima.
Intinya, dengan media papan tulis, guru dan murid mudah membangun rapport yang optimal. Rapport di sini dipahami sebagai keakraban, hubungan serasi. Ditandai oleh kesepakatan, kesaling-pahaman, yang memudahkan dan melancarkan komunikasi (lihat: Merriem-Webster Dictionary).
Rapport itu mengandaikan komunikasi primer, langsung, tatap muka (face to face).  Harus bisa saling mengamati mimik dan gestur, untuk bisa tahu  apakah sudah tercapai kesepahaman antara guru dan murid. Kontak langsung yang bersifat akrab (intimate) antara guru dan murid itulah jiwa (spirit, semangat) sejati proses ajar di ruang kelas.
Komunikasi akrab itu cenderung pupus dalam proses ajar yang mengandalkan media digital. Ambil contoh power point. Penggunaan power point itu cenderung mengkhianati jiwa proses ajar sebagai wujud komunikasi. Â
Pemanfaatan power point itu instruksional, cenderung searah, dari guru kepada murid.  Guru bicara sambil menayangkan slide power point. Murid diam memelototi layar, dan tangannya sibuk menyalin isi tayangan ke buku catatan.Â
Apakah murid mendengarkan guru yang bicara sambil menayangkan bahan ajar ringkas? Barangkali, ya, mendengar, tapi setengah atau bahkan seperempatnya saja. Perhatiannya lebih tersita untuk menyalin isi tayangan.
Jadi, walau istilahnya komunikasi digital atau e-komunikasi, faktanya proses ajar menggunakan media digital bukanlah komunikasi, melainkan kerja yang bersifat searah.Â
Dalam paradigma kerja, kelas dan murid adalah "lahan kerja" bagi guru sebagai "pekerja". Kewajiban guru adalah menggarap "lahan kerja" itu sebaik mungkin, menurut ukuran-ukuran kinerja yang ditetapkan secara sepihak. Murid tidak punya hak untuk menolak bahan, metode, dan media ajar. Â Sama seperti tanah dan tanaman yang tak bisa menolak apapun perlakukan petani penggarap terhadapnya.
Apa yang kemudian terjadi di ruang kelas? Semacam terorisme akademik! Â Media digital dengan ragam aplikasi ajar itu memungkinkan guru membanjiri otak murid dengan sebanyak mungkin materi ajar dalam tempo singkat. Sesuai tuntutan kurikulum, tentu saja. Â Sementara otak murid dipaksa kerja keras untuk menampung banjir informasi dari gurunya. Sering melampaui daya serapnya dalam waktu terbatas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!