Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata Max Weber, Ini 4 Motif Subyektifmu untuk Menulis Artikel

13 Juni 2022   19:37 Diperbarui: 13 Juni 2022   20:20 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis (Foto: Dok. Vlada Karpovich - Pexels via kompas.com) 

Setiap artikel adalah bentuk tindakan sosial komunikatif dan, karena itu, pasti lahir dari motif subyektif tertentu. Apakah motifmu?

"Mengapa kamu rutin menulis artikel?" Itu pertanyaan tentang motif menulis entah di blog pribadi, blog sosial, media massa, dan aneka flatform medsos.

"Saya menulis karena ...," jawabmu, membeberkan alasan mengapa kamu rajin menulis artikel. 

Alasan yang kamu kemukakan itu disebut "motif subyektif".  Motif yang mendasari aksi atau tindakanmu menulis artikel.  Mungkin sama dengan motif orang lain, tapi mungkin juga berbeda.

Lantas, apa sebenarnya motif subyektifmu untuk menulis artikel?

Tentu, setiap individu punya motif subyektif yang khas.  Mengingat setiap individu itu bersifat unik.  Karena itu, jumlah variasi motif subyektif individu untuk menulis sama dengan jumlah individu penulis itu sendiri.

"Wah, bisa jontor mulut kalau harus mengeja ratusan juta motif subyektif para penulis." Begitu mungkin pikiran orang yang tertarik mengungkap atau mempelajari motif-motif subyektif para penulis.

Tenang, ada cara sederhana. Max Weber, sosiolog klasik Jerman, telah menyediakan pendekatan "tipe ideal" (ideal type).  Ini suatu pendekatan yang menyederhanakan gejala-gejala atau tindakan-tindakan sosial yang rumit ke dalam beberapa tipe ideal. 

Namanya tipe ideal, ya, tak ada dalam kenyataan.  Tapi tipologi itu penting karena sangat membantu untuk memahami tindakan sosial individu.

Okelah. Lalu bagaimana cara menggunakan pendekatan tipe ideal itu untuk memahami motif seseorang menulis artikel?

***

Sabar.  Sebelum ke situ, saya perlu jelaskan dulu bagaimana pendekatan tipe ideal itu diterapkan dalam studi sosial.  Ini untuk memudahkan pemahaman.

Saya beri satu contoh yang mungkin sudah cukup familiar saja.  Antropolog Cliford Gertz memilah orang Jawa ke dalam tipe ideal yaitu santri, priyayi, dan abangan (Baca bukunya: The Religion of Java, University of Chicago Press, 1976.)

Tipologi itu dibuat Geertz berdasar tafsir atas ketaatan beragama Islam di kalangan orang Jawa. Santri adalah tipe orang Jawa yang taat kepada ajaran Islam.  Priyayi adalah ningrat yang kurang taat pada ajaran Islam tapi lebih terikat pada tradisi leluhur.  Abangan adalah orang Jawa kurang taat pada ajaran Islam, bahkan cenderung longgar. 

Dalam kehidupan nyata, santri itu menunjuk pada kalangan agamawan dan para pengikut atau santrinya.  Priyai menunjuk pada kalangan pemerintahan.  Abangan menunjuk pada kalangan pedagang atau pengusaha.

Lalu seorang pedagang, atau mungkin camat, dari etnis Jawa barangkali akan protes.  Sebab merasa dirinya sangat taat pada ajaran Islam. Lalu bilang, "Geertz salah! Sembarangan!"

Santai saja.  Geertz cuma mengikuti pendekatan tipologi ala Weber.  Dia mencoba memahami perilaku sosial-budaya orang Jawa dengan membagi mereka ke dalam tiga "tipe ideal".  

Jadi santri, priyayi, dan abangan itu adalah tipe-tipe ideal yang tak ada dalam kenyataan.  Yang ada adalah campuran dari tiga "karakter" itu pada diri individu-individu Jawa.

Tapi,  ada tapinya.  Jika seseorang jujur pada dirinya, maka dia akan menemukan bahwa dari tiga "karakter" itu, ada satu "karakter" yang dominan pada dirinya. Misalnya: 60% santri, 30% priyayi, 10% abangan. Nah, menurut tipologi Geertz, orang semacam ini digolongkan tipe  "santri".

Nah, cukup jelas, kan?  Sekarang saya akan jelaskan tipologi penulis menurut motif subyektifnya.

***

Begini. Weber itu sudah membuat tipologi motif subyektif individu dalam menlakukan suatu tindakan sosial. Hasilnya ada empat tipe ideal motif subyektif, yaitu:

  1. Motif instrumental: tindakan berdasar motif perolehan untung/rugi, terutama secara ekonomi.
  2. Motif nilai: tindakan berdasar motif keyakinan pada satu nilai sosial yang diterima sebagai penuntun hidup.
  3. Motif afeksi: tindakan berdasar kondisi atu orientasi emosional.
  4. Motif tradisi: tindakan berdasar kebiasaan turun temurun.

Sekarang, untuk tindakan sosial menulis artikel, saya akan coba tunjukkan motif-motif subyektif yang mungkin telah mendasarinya:

  1. Menulis karena motif instrumental. Seseorang menulis artikel secara rutin di blog atau media lain karena mengharapkan perolehan imbalan materi.  Imbalan materi bisa diperoleh dari bayaran iklan (blog pribadi), atau dari monetisasi jumlah viewer artikel (blog sosial, media massa).  Atau mungkin juga diperoleh dari pembaca yang menerbitkan ulang artikel, atau mengundang sebagai narasumber.
  2. Menulis karena motif nilai.  Seseorang menulis artikel secara rutin karena kebutuhan untuk mengamalkan sebuah nilai sosial yang diyakini.  Misalnya, seseorang punya nilai bahwa pengetahuan hanya berharga jika dibagikan kepada sesama.  Karena itu dia menulis dan mengagihkan artikel tentang apa yang dia tahu, dan dinilai bermanfaat bagi khalayak, sebagai cara untuk berbagi (sharing).
  3. Menulis karena motif afeksi.  Seseorang menulis artikel secara rutin karena dengan melakukan itu dia merasa nyaman, gembira, bahagia, atau perasaan lainnya yang sejenis.  Dia akan merasakan kebahagian berlipat jika artikelnya kemudian ditanggapi pembaca, entah lewat kolom komentar, atau artikel tanggapan.  Terlebih jika ada pembaca yang berterimakasih karena merasa tercerdaskan oleh artikelnya. Termasuk dalam tipe motif ini adalah menulis sebagai ungkapan rasa, entah sedih, marah, jatuh cinta, gembira, dan lain sebagainya.
  4. Menulis karena motif tradisi.  Seseorang menulis artikel secara rutin karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun dalam keluarga.  Semisal neneknya dulu rutin tiap hari menulis diari.  Lalu diikuti ibunya.  Kemudian dia sendiri melakukan hal yang sama. Bahkan mungkin dibiasakan juga kepada anak perempuannya. Ini semacam pelestarian tradisi literasi dalam keluarga. Seseorang yang merintis tradisi literasi termasuk ke dalam tipe ini.

Nah, setelah mengetahui empat tipe ideal motif menulis di atas, coba pikirkan ulang, apa sebenarnya motifmu menulis artikel secara rutin, atau berkala, atau sporadis?

Setelah itu, lakukan analisis subyektif, apakah motifmu condong ke salah satu tipe?  Entah itu instrumental, nilai, afeksi, atau tradisi?

Saya katakan "condong", karena mustahil motif menulis itu 100% bersifat tunggal, satu dari empat kemungkinan tadi.  Selalu akan ada keempat motif itu, tapi akan ada satu motif yang dominan.  Nah, motif yang dominan itulah penanda dirimu.

Saya menulis artikel ini semata untuk membantu diri kita masing-masing memastikan dan memahami alasan-alasan sebenarnya dari rutinitas kita menulis artikel yang diagihkan ke ruang publik.  

Sebab hanya jika kita benar-benar memahami motif subyektif kita menulis, maka kita akan terpacu dan berkomitmen menganggit tulisan-tulisan bermutu yang tak mengingkari motif kita sendiri.

Semisal kamu punya motif instrumental ekonomis, tentu kamu pasti berupaya keras agar artikelmu viral bukan? Karena itu, pastilah kamu akan merujuk SEO, agar artikelmu aktual, menonjol, dan menggoda orang untuk segera membacanya.

Jadi apapun motif subyektif kita masing-masing, semua utu sama nilainya, dalam arti sama-sama memotivasi kita untuk menghasilkan artikel terbaik. Seturut kompetensi dan kapasitas kita masing-masing, tentu saja.

Apakah tulisan saya kali ini kelewat serius? Mudah-mudahan tidak dinilai begitu. Sambil saya berharap semoga ada manfaatnya. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun