***
Sabar. Â Sebelum ke situ, saya perlu jelaskan dulu bagaimana pendekatan tipe ideal itu diterapkan dalam studi sosial. Â Ini untuk memudahkan pemahaman.
Saya beri satu contoh yang mungkin sudah cukup familiar saja.  Antropolog Cliford Gertz memilah orang Jawa ke dalam tipe ideal yaitu santri, priyayi, dan abangan (Baca bukunya: The Religion of Java, University of Chicago Press, 1976.)
Tipologi itu dibuat Geertz berdasar tafsir atas ketaatan beragama Islam di kalangan orang Jawa. Santri adalah tipe orang Jawa yang taat kepada ajaran Islam. Â Priyayi adalah ningrat yang kurang taat pada ajaran Islam tapi lebih terikat pada tradisi leluhur. Â Abangan adalah orang Jawa kurang taat pada ajaran Islam, bahkan cenderung longgar.Â
Dalam kehidupan nyata, santri itu menunjuk pada kalangan agamawan dan para pengikut atau santrinya. Â Priyai menunjuk pada kalangan pemerintahan. Â Abangan menunjuk pada kalangan pedagang atau pengusaha.
Lalu seorang pedagang, atau mungkin camat, dari etnis Jawa barangkali akan protes. Â Sebab merasa dirinya sangat taat pada ajaran Islam. Lalu bilang, "Geertz salah! Sembarangan!"
Santai saja. Â Geertz cuma mengikuti pendekatan tipologi ala Weber. Â Dia mencoba memahami perilaku sosial-budaya orang Jawa dengan membagi mereka ke dalam tiga "tipe ideal". Â
Jadi santri, priyayi, dan abangan itu adalah tipe-tipe ideal yang tak ada dalam kenyataan. Â Yang ada adalah campuran dari tiga "karakter" itu pada diri individu-individu Jawa.
Tapi,  ada tapinya.  Jika seseorang jujur pada dirinya, maka dia akan menemukan bahwa dari tiga "karakter" itu, ada satu "karakter" yang dominan pada dirinya. Misalnya: 60% santri, 30% priyayi, 10% abangan. Nah, menurut tipologi Geertz, orang semacam ini digolongkan tipe  "santri".
Nah, cukup jelas, kan? Â Sekarang saya akan jelaskan tipologi penulis menurut motif subyektifnya.
***