Begini. Weber itu sudah membuat tipologi motif subyektif individu dalam menlakukan suatu tindakan sosial. Hasilnya ada empat tipe ideal motif subyektif, yaitu:
- Motif instrumental: tindakan berdasar motif perolehan untung/rugi, terutama secara ekonomi.
- Motif nilai: tindakan berdasar motif keyakinan pada satu nilai sosial yang diterima sebagai penuntun hidup.
- Motif afeksi: tindakan berdasar kondisi atu orientasi emosional.
- Motif tradisi: tindakan berdasar kebiasaan turun temurun.
Sekarang, untuk tindakan sosial menulis artikel, saya akan coba tunjukkan motif-motif subyektif yang mungkin telah mendasarinya:
- Menulis karena motif instrumental. Seseorang menulis artikel secara rutin di blog atau media lain karena mengharapkan perolehan imbalan materi.  Imbalan materi bisa diperoleh dari bayaran iklan (blog pribadi), atau dari monetisasi jumlah viewer artikel (blog sosial, media massa).  Atau mungkin juga diperoleh dari pembaca yang menerbitkan ulang artikel, atau mengundang sebagai narasumber.
- Menulis karena motif nilai. Â Seseorang menulis artikel secara rutin karena kebutuhan untuk mengamalkan sebuah nilai sosial yang diyakini. Â Misalnya, seseorang punya nilai bahwa pengetahuan hanya berharga jika dibagikan kepada sesama. Â Karena itu dia menulis dan mengagihkan artikel tentang apa yang dia tahu, dan dinilai bermanfaat bagi khalayak, sebagai cara untuk berbagi (sharing).
- Menulis karena motif afeksi. Â Seseorang menulis artikel secara rutin karena dengan melakukan itu dia merasa nyaman, gembira, bahagia, atau perasaan lainnya yang sejenis. Â Dia akan merasakan kebahagian berlipat jika artikelnya kemudian ditanggapi pembaca, entah lewat kolom komentar, atau artikel tanggapan. Â Terlebih jika ada pembaca yang berterimakasih karena merasa tercerdaskan oleh artikelnya. Termasuk dalam tipe motif ini adalah menulis sebagai ungkapan rasa, entah sedih, marah, jatuh cinta, gembira, dan lain sebagainya.
- Menulis karena motif tradisi. Â Seseorang menulis artikel secara rutin karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun dalam keluarga. Â Semisal neneknya dulu rutin tiap hari menulis diari. Â Lalu diikuti ibunya. Â Kemudian dia sendiri melakukan hal yang sama. Bahkan mungkin dibiasakan juga kepada anak perempuannya. Ini semacam pelestarian tradisi literasi dalam keluarga. Seseorang yang merintis tradisi literasi termasuk ke dalam tipe ini.
Nah, setelah mengetahui empat tipe ideal motif menulis di atas, coba pikirkan ulang, apa sebenarnya motifmu menulis artikel secara rutin, atau berkala, atau sporadis?
Setelah itu, lakukan analisis subyektif, apakah motifmu condong ke salah satu tipe? Â Entah itu instrumental, nilai, afeksi, atau tradisi?
Saya katakan "condong", karena mustahil motif menulis itu 100% bersifat tunggal, satu dari empat kemungkinan tadi. Â Selalu akan ada keempat motif itu, tapi akan ada satu motif yang dominan. Â Nah, motif yang dominan itulah penanda dirimu.
Saya menulis artikel ini semata untuk membantu diri kita masing-masing memastikan dan memahami alasan-alasan sebenarnya dari rutinitas kita menulis artikel yang diagihkan ke ruang publik. Â
Sebab hanya jika kita benar-benar memahami motif subyektif kita menulis, maka kita akan terpacu dan berkomitmen menganggit tulisan-tulisan bermutu yang tak mengingkari motif kita sendiri.
Semisal kamu punya motif instrumental ekonomis, tentu kamu pasti berupaya keras agar artikelmu viral bukan? Karena itu, pastilah kamu akan merujuk SEO, agar artikelmu aktual, menonjol, dan menggoda orang untuk segera membacanya.
Jadi apapun motif subyektif kita masing-masing, semua utu sama nilainya, dalam arti sama-sama memotivasi kita untuk menghasilkan artikel terbaik. Seturut kompetensi dan kapasitas kita masing-masing, tentu saja.
Apakah tulisan saya kali ini kelewat serius? Mudah-mudahan tidak dinilai begitu. Sambil saya berharap semoga ada manfaatnya. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H