Poltak belum paham, itulah rahasia keadilan Tuhan. Habis bencana terbitlah berkah. Setelah kerusakan, timbullah keindahan.
"Angka dolok na timbo." Telinga Poltak tiba-tiba menangkap senandung indah. Itu baris pertama lagu O Tao Toba, gubahan Guru Nahum Situmorang yang tersohor.
"Ah, Berta bernyanyi," teriak Poltak dalam hati. Poltak berlari kecil ke arah Berta dan kawan-kawannya. "Stop dulu, Berta," pintanya.
Poltak beralih kepada kenek, kondektur kapal. "Bang, kulihat ada gitar di situ," menunjuk ke gitar yang tergantung di dinding kabin, "Abang bisa main gitar, kan?"
"Bisalah. Abang jagonya."
"Ayo, mainkan, Bang. Lagu O Tao Toba."
Poltak menoleh pada Alogo. "Alogo! Ayolah, kau duet sama Berta!"
"Bagus! Pak Guru mau menikmati kalian bernyanyi." Itu perintah halus yang tak mungkin lagi dibantah.
“Kita nyanyi di atap saja.” Bang Kenek mengajak Berta dan Alogo naik ke atap kapal yang telah diubah jadi anjungan pandang.
Anak-anak sebagian ikut naik, sebagian lagi di geladak haluan. Poltak berdiri di ujung geladak haluan itu. Dari situ dia leluasa memandang Berta di atap.
Bang Kenek mulai memetik gitarnya. Intro dulu. Lalu Berta, dengan suara soprannya, melantunkan bait pertama.