Kematian adalah tindakan sosial terakhir manusia. Karena itu harus dijadikan pengalaman terbaik. Â
Lima tahun lalu Mbah Harti (pseudonim), saksi pernikahanku, Â berpulang dalam usia 80 tahun. Saat saya melayat, Mas Warso (pseudonim) anak mantunya bercerita, Mbah Harti sudah merencanakan dan mempersiapkan kematiannya.
Kata Mas Warso, selama 2 minggu di rumah sakit, Mbah Harti sama sekali tidak mau membuka mata. Â Juga tidak mau berbicara. Dia menolak semua obat yang dimasukkan melalui mulut.
Masih menurut cerita Mas Warso, Mbah Harti terakhir kali berbicara  sekitar seminggu sebelum masuk rumah sakit. Dia memberitahu dan menunjukkan pakaian yang harus dikenakannya jika nanti berpulang. Â
Dia juga memberi catatan nama dan nomor kontak seorang petugas yayasan untuk dihubungi. Â Yayasan itulah nanti yang akan mengurus segala keperluan pemakamannya. Mulai dari peti jenazah dan pernak-perniknya, kendaraan jenazah, tempat dan liang lahat, berikut biayanya.
Cerita tentang Mbah Harti itu mengingatkan saya pada nenek Poltak (pseudonim). Â Sebelum berpulang 14 tahun lalu, nenek Poltak sudah berpesan kepada anak perempuannya, satu-satunya anak yang masih hidup, tentang upacara pemakamannya. Â
Nenek Poltak ingin kematiannya dirayakan dengan  gondang (musik gendang dan tortor Batak).  Tapi karena sebagian kerabatnya penganut Pentakosta yang mengharamkan gondang Batak, maka nenek Poltak minta peralatan musiknya diganti dengan alat musik gerejani (terompet, gitar, drum). Dengan begitu, kerabatnya yang Pentakosta bisa ikut manortor, menari.
Biaya upacara pemakamannya juga sudah disiapkan berupa sejumlah perhiasan emas. Nenek Poltak minta perhiasan itu dijual untuk biaya. Â Jika jumlahnya kurang, maka anak-anaknya diminta untuk urunan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dua kisah kematian di atas, kasus Mbah Harti dan Nenek Poltak, jelas mengindikasikan bahwa peristiwa berpulang atau kematian adalah sesuatu yang direncanakan. Â Bukan sesuatu yang terjadi begitu saja di luar dugaan atau harapan.
Kata kuncinya adalah "kalau aku mati,  maka aku ingin  ...".  Keinginan itu mencakup tempat, waktu, dan cara kematian. Serta busana, upacara pemakaman, dan tempat pemakaman.
Barangkali, keinginan yang paling susah dipastikan adalah tempat, waktu, cara, dan tempat kematian. Â Itu sepenuhnya rahasia Yang Maha Kuasa. Â
Kendati untuk kasus tertentu mungkin bisa diprediksi. Seorang lansia sakit yang dirawat di rumah, misalnya, Â tentu boleh berharap meninggal di ranjangnya malam hari saat tidur lelap. Itu kerap terjadi, bukan?
Jika kematian adalah suatu peristiwa yang terencanakan oleh individu, dengan alas motif subjektif seperti di atas, maka boleh dikatakan kematian adalah suatu tindakan sosial.Â
Saya akan coba buat lebih jelas.
***
Begini. Kita mulai dari arti tindakan sosial. Suatu tindakan individu, kata sosiolog Max Weber, adalah tindakan sosial bila memiliki makna atau motif subyektif dan diarahkan kepada orang lain, baik itu sebagai aksi maupun reaksi.Â
Tindakan sosial individu dengan demikian terjadi dalam konteks interaksi sosial antar-individu atau antara individu dan kelompok. Â
Weber membedakan empat tipe tindakan soaial individu berdasar motif subjektif yang mendasarinya:
- Tindakan rasional instrumental yaitu tindakan berdasar perhitungan individu atas aspek untung-rugi. Contoh: Joko menolong tetangganya karena ada imbalan uang rokok.
- Tindakan rasional berbasis nilai yaitu tindakan yang dituntun keyakinan individu pada suatu nilai sosial. Contoh: Joko menolong tetangganya karena takin ada pahalanya.
- Tindakan afektif yaitu tindakan yang dipicu oleh  kondisi dan orientasi emosi individu. Contoh: Joko menolong tetangga karena sedang naksir anak gadisnya. Â
- Tindakan tradisional yaitu tindakan individu yang dilakukan karena sudah kebiasaan turun-temurun. Contoh: Joko menolong tetangganya karena tuntutan tradisi sambatan.
Pertanyaannya, tentu saja, termasuk tipe tindakan sosial manakah kematian, jika ia dipahami seperti itu?
Perlu diingat, empat tipe tindakan sosial menurut Weber itu adalah tipe ideal. Maksudnya tak ada tindakan dengan motif tunggal. Keempat motif subjektif itu pasti ada sebagai dasar. Tapi ada satu yang dominan. Nah, jenis tindakan diidentifikasi menurut motif dominan itu.
Motif subjektif di balik kematian sebagai tindakan sosial bisa diungkap berdasar kasus. Satu dan lain kasus beda motifnya, walau masih dalam lingkup empat tipe ideal Weber.
Ambil kasus Pak Karno (pseudonim)sebagai contoh. Â Pada usia uzurnya, setelah berulang-kali masuk dan keluar rumah sakit, akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat di rumah saja. Â Alasannya, dia tak ingin merepotkan keluarga dan ingin meninggal dengan tenang di tengah keluarga di dalam rumah sendiri.
Coba kita bedah motif Pak Karno itu.Â
Pertama, motif "tidak ingin merepotkan keluarga". Ini motif tindakan rasional instrumental (rasional ekonomi). Pak Karno tidak mau keluarganya menghabiskan lebih banyak lagi uang dan tenaga untuk perawatannya di rumah sakit. Lebih baik uang digunakan untuk biaya sekolah cucu-cucunya dan kebutuhan hidup keluarga.
Kedua, motif "meninggal tenang di tengah keluarga." Â Ini motif tindakan afektif. Pak Karno ingin dirawat dan didampingi keluarga sendiri dengan penuh kasih. Saat tiba waktunya, dia juga ingin keluarganya ikhlas melepas kepergiannya.Â
Ketiga, motif "meninggal di dalam rumah". Â Ini motif nilai. Â Bagi Pak Karno, tempat meninggal dunia paling baik adalah di dalam rumah sendiri. Â Bukan di luar rumah, apalagi di jalanan.itu
Dari tiga motif di atas, motif dominan Pak Karno  adalah  "meninggal tenang di tengah keluarga."  Dua motif lainnya bersifat pelengkap.Â
Karena itu berdasar motifnya, kematian Pak Karno dapat digolongkan sebagai tindakan sosial afektif. Â Tindakan dalam konteks interaksi sosial kasih antara Pak Karno dan anggota keluarganya.
Jelas kiranya  kematian bukan sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia.  Setiap individu sadar pada suatu ketika akan berpulang ke rumah Sang Khalik. Kelak, jika waktunya tiba, setiap orang punya angan (harapan), semoga hal itu terjadi pada waktu, di tempat, dan dengan cara terbaik seturut ukuran-ukuran subjektifmya.
***
Momen kematian adalah tindakan sosial terakhir yang mungkin dilakukan setiap individu. Cara, waktu, dan tempat seseorang mati akan menentukan respon orang lain, khususnya anggota keluarga, merespon kematian itu. Â
Apakah keluarga akan menerima kematian anggotanya dengan ikhlas, ditandai dengan kesiapan melakukan upacara pemakaman terbaik sesuai yang mungkin telah dipikirkan sebelumnya?
Atau mungkin keluarga belum menerima kematian anggotanya, karena antara almarhum dan anggota keluarga tidak ada komunikasi sebelumnya? Hal ini bisa terjadi pada kasus-kasus kematian tak terduga karena kecelakaan, bencana,dan pembunuhan.Â
Tapi bahkan pada kasus-kasus  tak terdugs sebenarnya ada firasat.  Hanya saja, kerap firasat baru disadari setelah seseorang meninggal dunia.
Jika momen kematian adalah tindakan sosial, dalam arti aksi yang ditujukan kepada anggota keluarga, maka respon anggota keluarga adalah reaksi sosial. Â
Reaksi sosial anggota keluarga terhadap aksi sosial kematian, sebagai peristiwa interaksi sosial terakhir, juga merupakan tindakan sosial terakhir. Â Karena itu senantiasa diupayakan memberi respon terbaik, berupa upacara pemakaman terbaik, dengan harapan almarhum dapat beristirahat dalam damai.
Hal terakhir ini menjadi dasar bagi kehadiran pranata sosial jasa pemulasaraan. Â Ini jenis jasa yang menyediakan paket-paket pemakaman, mulai dari "kelas rakyat" sampai "kelas elite". Tinggal pilih sesuai kemampuan.
Momen kematian barangkali adalah tindakan sosial yang tak hendak dipikirkan individu. Jika masih sehat, orang tidak nyaman ditanya kapan, di mana, apa alasan, dan bagaimana caranya kelak mati. Sampai kemudian dia dihadapkan pada suatu momen "indikasi menjelang ajal". Â Entah karena sakit keras, menua, dan sebab lainnya. Â
Tapi mengingat kematian adalah tindakan sosial terakhir bagi setiap individu, ada baiknya kita membangun motif sosial untuk kematian kita kelak. Â Apakah motif instrumental, nilai, afektif, atau tradisi? Â
Pilihan atas motif itu akan menjadi acuan bagi anggota keluarga dan handai-taulan untuk merespon kematian kita dengan tindakan upacara pemakaman terbaik.Â
Jika kita merencanakan kematian dengan baik, maka kita akan mengalaminya sebagai interaksi kasih terbaik di akhir hidup kita. Tidak ada yang lebih baik dan lebih indah dari kematian di tengah limpahan kasih keluarga. (eFTe)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H