Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Distorsi dan Sesat Logika terkait Larangan Ekspor Minyak Sawit

27 April 2022   13:31 Diperbarui: 27 April 2022   17:40 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian truk pengangkut TBS sawit dari kebun ke pabrik di Riau (Foto: infosiak.com) 

"Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian."- Presiden Joko  Widodo, 22 April 2022

Hanya selang beberapa menit setelah pengumuman larangan ekspor minyak sawit itu, distorsi informasi langsung terjadi.  Semua media daring, juga televisi,  memberitakan pemerintah melarang ekspor CPO, crude palm oil, atau minyak sawit mentah.

Para politisi dan pengamat langsung memberi respon instan. Katanya kebijakan itu akan merugikan ekonomi Indonesia, tidak akan efektif menurunkan harga minyak goreng sawit (MGS), akan merugikan pekebun sawit karena menekan harga tandan buah segar (TBS), dan lain sebagainya.

Benar saja, distorsi informasi itu langsung berimbas negatif ke harga dan volume pembelian TBS di tingkat petani. Harga langsung anjlok antara Rp 300 - Rp 1,300  per kilogram.  Volume pembelian oleh pabrik juga anjlok sampai 50 persen.

Selasa kemarin (26/4/2022) seorang rekan pekebun sawit mengirim pesan.  Katanya dia hanya mampu menjual 50 persen produksi TBS miliknya pada hari itu.  Disertakan juga video antrian panjang truk pengangkut TBS, menunggu giliran bongkar di pabrik.

Saya akan tunjukkan bahwa distorsi informasi itu telah terjadi sekurangnya karena dua hal. 

Pertama, kesalahan para pewarta dalam pemberitaan isi pengumuman presiden. 

Kedua, kelambanan Menteri Perdagangan dalam menerjemahkan "bahasa kebijakan" presiden ke dalam "bahasa teknis" pelaku bisnis.

Selanjutnya, saya akan tunjukkan bagaimana para pengamat ekonomi telah terjebak dalam sesat logika (logical fallacy). Khususnya setelah pemerintah menjelaskan tidak ada larangan ekspor CPO.

Distorsi RBD menjadi CPO

Minyak sawit itu, pada garis besarnya, terdiri dari tiga jenis.  Jenis pertama adalah CPO, crude palm oil, hasil perasan langsung dari buah sawit.  Wujudnya cairan merah, kotor, dan berbau menyengat.  Inilah yang paling banyak diekspor. CPO ini bukan bahan baku MGS.

Jenis kedua adalah RBD (refined - bleaching - deodorized) palm olein, hasil olahan lanjut CPO.  RBD adalah CPO yang sudah dimurnikan (tanpa kotoran), dijernihkan (jadi warna kuning terang), dan dihilangkan baunya (menjadi tak berbau). RBD inilah yang bahan baku yang diproses atau dikemas langsung menjadi MGS.

Jenis ketiga adalah MGS, minyak goreng sawit, sendiri.  MGS dihasilkan langsung dari pengolahan/pengemasan RBD.

Dalam pengumuman larangan ekspor, Presiden Jokowi menyebut frasa "bahan baku minyak goreng".  Jelas maksudnya di situ adalah RBD palm olein, bukan CPO.  

Tapi para pewarta  kemudian mengartikan dan memberitakan "bahan baku minyak goreng" sebagai CPO.  Maka meluaslah pemberitaan larangan ekspor CPO.  Distorsi informasi ini kemudian menimbulkan situasi kaotik pada transaksi TBS di tingkat petani.

Dalam kasus ini, pewarta tidak akurat dan tak berhati-hati dalam memahami pernyataan presiden.  Distrosi terjadi karena para pewarta, termasuk orang awam seperti saya, selama ini memahami CPO adalah "bahan baku minyak goreng".  Itu sudah menjadi pengetahuan umum yang salah kaprah.

Pemahaman distortif itu semakin meluas karena kementerian teknis, terutama Kementerian Pedagangan dan Kementerian Perindustrian, sangat terlambat menyampaikan klarifikasi teknis.

Semestinya, setelah presiden menyampaikan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, kementerian terkait langsung menjelaskan definisi teknis operasionalnya.  Bahwa "bahan baku minyak goreng" yang dilarang untuk ekspor adalah RBD, bukan CPO.

Surat Dirjen Perkebunan Kementan RI kepada para gubernur tentang klarifikasi larangan ekspor itu baru terbit 25 April 2022.  Itu tiga hari setelah pengumuman dari presiden.  Sangat terlambat. Distorsi informasi telah sempat menimbulkan penurunan harga TBS hingga ke bawah  Rp 2,500  (dari  Rp 3,000-an) per kg.

Mungkin para menteri sekarang perlu belajar pada para menteri era Orde Baru.  Di masa itu, setelah Presiden Soeharto mengambil keputusan -- atau memberi "petunjuk" -- dalam rapat kabinet, menteri terkait langsung menjelaskan teknis  kebijakan itu lewat TVRI.  Walau penampilan menteri itu menyebalkan, karena rakyat kehilangan acara hiburan di TVRI, tapi cara itu efektif mencegah distorsi informasi.

Sesat Logika Pengamat

Anehnya, setelah kementerian terkait (perekonomian, perindustrian, perdagangan, pertanian) memberikan klarifikasi, masih ada pengamat ekonomi yang resisten. Mereka  mengajukan argumen orang-orangan sawah (strawman argument), salah satu bentuk logical fallacy, sesat logika.

Pengamat ekonomi politik dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (AB), misalnya menyebut para pembantu presiden, yang disebutnya oligarki, telah mengoreksi larangan ekspor CPO sebelum diberlakukan.  

Menurutnya hal itu mempermalukan Presiden Jokowi. Sekaligus menimbulkan kesan Presiden Jokowi tunduk pada oligarki di dalam kabinetnya. (Baca: "Larangan Ekspor CPO Dikoreksi Sebelum Berlaku, Anthony Budiawan: Jokowi Tunduk ke Oligarki?", rmol.id, 26/4/2022).

Ketimbang menerima penjelasan logis pemerintah,  AB memilih untuk membangun argumen oligarki, keluar dari pokok masalah.  

Sudah jelas bahwa Presiden Jokowi menyebut "bahan baku minyak goreng".  Sudah jelas pula "bahan baku minyak goreng" adalah RBD palm olein.  Lalu mengapa AB tetap beranggapan bahwa yang dimaksud presiden adalah "larangan ekspor CPO"?

Pemerintah tak bodoh untuk menahan 100 persen produksi CPO untuk pasar domestik. Memangnya mau menenggelamkan dapur rakyat dengan banjir minyak goreng. Cukup dengan pemenuhan DMO 30 persen CPO, maka ke hilirnya kebutuhan MGS domestik pasti tercukupi. Tentu dengan syarat aturan DMO 30 persen diberlakulan lagi, setelah dicabut Mendag tanggal 17 Maret 2022 lalu.

Jadi, argumen AB itu melenceng dari dari pokok masalah. Disasarkan ke dugaan oligarki dalam kabinet. Menurut AB, oligarki telah mengoreksi kebijakan presiden. Itu menunjukkan presiden tunduk pada kekuatan oligarki. 

Itulah  argumen orang-orangan sawah. Membangun sebuah argumen baru di luar pokok masalah. Lalu menghajar "lawan", dalam hal ini pemerintah, dari luar konteks persoalan.  

Sesat logika semacam itu tak hanya terjadi pada pengamat. Tetapi terjadi juga di kalangan politisi di Gedung DPR Senayan. Indikasinya, seorang anggota dewan  lantang bilang ekspor CPO itu terkait dengan pendanaan gerakan presiden tiga periode.  Jelas itu argumen yang keluar dari pokok permasalahan.

Perlu Dukungan Semua Pihak

Tujuan larangan ekspor RBD dan MGS sederhana saja:  kecukupan ketersediaan MGS dengan harga terjangkau di dalam negeri. Sampai tujuan itu tercapai secara stabil, barulah kran ekspor RBD dan MGS akan dibuka lagi. 

Ketahanan minyak goreng nasional -- jika diistilahkan demikian -- harus menjadi yang utama.  Itulah motif kebijakan larangan ekspor RBD dan MGS.  

Bagaimanapun, kebijakan temporal untuk melarang ekspor RBD dan MGS itu perlu didukung semua pihak. Khususnya oleh para stakeholder industri minyak sawit umumnya, MGS pada khususnya.

Ekspor demi devisa itu penting. Tapi jika devisa kemudian terkuras untuk biaya pengendalian gejolak ekonomi, dan juga mungkin gejolak politik di dalam negeri, lantas apa gunanya ekspor?  Biaya ekonomi dan politik bisa lebih murah jika ketersediaan MGS, juga bahan pokok lainnya, tersedia secara mencukupi, terjangkau, dan merata di dalam negeri.

Mengritik kebijakan pemerintah itu baik dan harus. Agar pemerintah tak salah langkah.  Tapi kritik haruslah logis, tidak keluar dari konteks persoalan, demi mencari "menang sendiri".  

Kritik-kritik model logical fallacy, semacam argumen orang-orangan sawah di atas, dan mungkin juga ad hominem (menyasar pribadi penguasa/pengusaha), sungguh tidak akan membantu apapun  keluar dari masalah. Jika ada manfaatnya, mungkin hanya sebatas "tontotan yang menyebalkan" di televisi.

Inilah fokus bangsa ini sekarang. Bagaimana agar operasionalisasi kebijakan larangan ekspor RBD dan MGS  efektif menghasilkan stok MGS yang mencukupi kebutuhan domestik pada harga terjangkau dalam waktu dekat.  Sebab kalau larangan ekspor terlalu lama, bangsa dan negara bisa kehilangan manfaat ekonomi minyak sawit dalam jumlah subtantif.(eFTe)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun