Jenis kedua adalah RBD (refined - bleaching - deodorized) palm olein, hasil olahan lanjut CPO. Â RBD adalah CPO yang sudah dimurnikan (tanpa kotoran), dijernihkan (jadi warna kuning terang), dan dihilangkan baunya (menjadi tak berbau). RBD inilah yang bahan baku yang diproses atau dikemas langsung menjadi MGS.
Jenis ketiga adalah MGS, minyak goreng sawit, sendiri. Â MGS dihasilkan langsung dari pengolahan/pengemasan RBD.
Dalam pengumuman larangan ekspor, Presiden Jokowi menyebut frasa "bahan baku minyak goreng". Â Jelas maksudnya di situ adalah RBD palm olein, bukan CPO. Â
Tapi para pewarta  kemudian mengartikan dan memberitakan "bahan baku minyak goreng" sebagai CPO.  Maka meluaslah pemberitaan larangan ekspor CPO.  Distorsi informasi ini kemudian menimbulkan situasi kaotik pada transaksi TBS di tingkat petani.
Dalam kasus ini, pewarta tidak akurat dan tak berhati-hati dalam memahami pernyataan presiden. Â Distrosi terjadi karena para pewarta, termasuk orang awam seperti saya, selama ini memahami CPO adalah "bahan baku minyak goreng". Â Itu sudah menjadi pengetahuan umum yang salah kaprah.
Pemahaman distortif itu semakin meluas karena kementerian teknis, terutama Kementerian Pedagangan dan Kementerian Perindustrian, sangat terlambat menyampaikan klarifikasi teknis.
Semestinya, setelah presiden menyampaikan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, kementerian terkait langsung menjelaskan definisi teknis operasionalnya. Â Bahwa "bahan baku minyak goreng" yang dilarang untuk ekspor adalah RBD, bukan CPO.
Surat Dirjen Perkebunan Kementan RI kepada para gubernur tentang klarifikasi larangan ekspor itu baru terbit 25 April 2022.  Itu tiga hari setelah pengumuman dari presiden.  Sangat terlambat. Distorsi informasi telah sempat menimbulkan penurunan harga TBS hingga ke bawah  Rp 2,500  (dari  Rp 3,000-an) per kg.
Mungkin para menteri sekarang perlu belajar pada para menteri era Orde Baru.  Di masa itu, setelah Presiden Soeharto mengambil keputusan -- atau memberi "petunjuk" -- dalam rapat kabinet, menteri terkait langsung menjelaskan teknis  kebijakan itu lewat TVRI.  Walau penampilan menteri itu menyebalkan, karena rakyat kehilangan acara hiburan di TVRI, tapi cara itu efektif mencegah distorsi informasi.
Sesat Logika Pengamat
Anehnya, setelah kementerian terkait (perekonomian, perindustrian, perdagangan, pertanian) memberikan klarifikasi, masih ada pengamat ekonomi yang resisten. Mereka  mengajukan argumen orang-orangan sawah (strawman argument), salah satu bentuk logical fallacy, sesat logika.
Pengamat ekonomi politik dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (AB), misalnya menyebut para pembantu presiden, yang disebutnya oligarki, telah mengoreksi larangan ekspor CPO sebelum diberlakukan. Â