Kita boleh sebut itu banjir kiriman dari kuburan, atau dari orang mati di kuburan.Â
Tentu masalah tak hanya di musim hujan. Selimut rumput sintetis di 35 ha pemakaman, jika skenario itu terjadi, juga jadi masalah di musim kemarau.Â
Hamparan rumput sintetis itu akan menghambat tanah untuk menyerap panas. Sebaliknya justru memantulkannya kembali ke udara.Â
Suhu udara di pemakaman akan meningkat. Ditambah penurunan serapan karbonmonoksida, udara pekuburan mungkin akan mirip udara "neraka" -- panas, pengap, menyiksa.
Akibatnya, kunjungan ke makam akan menjadi semacam kunjungan ke "neraka". Keluarga mendiang mungkin menjadi malas ke kuburan. Ritus komunikasi orang hidup dan orang mati memudar.Â
Itulah bencana ekologis yang akan timbul dari ulah manusia menutup makam dengan karpet rumput sintetis. Banjir saat musim hujan dan pemanasan udara yang ekstrim saat musim kemarau.
Perlu Larangan Rumput Sintetis
"Karpetisasi kuburan" -- jika istilah ini mau dipakai untuk perluasan penggunaan rumput sintetis di kuburan -- mungkin menguntungkan secara ekonomi bagi keluarga mendiang. Sekurangnya ada efisiensi ekonomi kuburan di pihak keluarga.
Tapi secara ekologis, seperti ditunjukkan pada kasus (skenario) TPU Kampung Kandang, akan merugikan bagi ketiga stakeholder sosial kuburan. Keluarga mendiang, warga sekitar dan di hilir kuburan, dan pemerintah kota.