"Kita tak harus menjadi orang suci dulu supaya boleh menyatakan kebenaran."
Aek na litok paiashon, air keruh membersihkan.
Itu nasihat kakek Engkong Felix. Dulu, ya, dulu.Â
Usia kakek engkong kini sudah di atas 100 tahun. Andai, ya, andai kakek masih hidup.
Nasihat itu pelajaran dari alam. Alam terkembang jadi guru, kata orang Minang.
Lihatlah. Orang Batak dan Minang itu sama saja. Sama-sama pembelajar yang berguru pada alamnya.
Alam persawahan. Secara khusus, itu maksudku.
Dulu selepas bekerja di sawah, entah habis membajak atau membersihkan pematang, kakekku selalu membersihkan tangan dan kaki menggunakan air sawah.
Kamu tahu air sawah, bukan. Keruh, ya, keruh. Bukan kotor dalam arti terpolusi limbah, ya. Tapi keruh oleh lumpur yang belum sempat mengendap.
Bersih? Ya, sekurangnya lumpur yang menempel di kaki dan tangan larut dan lepas dari kulit. Itulah definusi bersihnya.
Itu bukan kebiasaan kakekku saja. Semua warga kampung Panatapan, kampungku -- juga kampung Poltak kalau kamu mendadak ingat anak badung ini -- melakukannya.
Bayangkan peristiwa jamak ini. Sewaktu musim tanam padi, para penandur lazim makan siang di tengah sawah, duduk di pematang. Kamu tahu cuci tangannya di mana? Ya, di air sawah yang keruh di dekat kakinya.
Jorok? Itu katamu. Kata orang-orang di kampungku, juga kataku sebagai salah seorang pelaku, aek na litok paiashon.
Oh, ya, jangan kamu pikir air sawah di Panatapan itu semacam air selokan di Jakarta. Hitam penuh polutan dan aneka bakteri jahat, sekurangnya E. coli.Â
Warga kampungku dulu tidak buang air besar di saluran air irigasi. Sebab air irigasi di sana juga untuk air minum dan mandi.
Belakangan hari, saya menyadari, ungkapan aek na litok paiashon itu tak semata bermakna harfiah. Tapi juga metaforis.
Kesadaran itu timbul saat pemilihan sintua, penatua gereja kami. Terpilih seorang lelaki paruh baya, yang kemudian disetujui pastor.
Menariknya, sewaktu proses musyawarah untuk mufakat, ada seorang umat yang keberatan, "Masa sintua kita peminum tuak?" Ditanggapi umat lain, "Siapa di antara bapak-bapak di sini yang bukan peminum tuak?"
Sudah pasti tidak ada yang tunjuk tangan. Bukan orang Batak kalau tak  minum tuak.
"Aek na litok paiashon," kata sintua lama. "Kalau syarat jadi sintua harus orang kudus, kita tak akan pernah punya sintua."
Tentu saja. Sebab semua orang kudus dalam Gereja Katolik adalah orang yang sudah mati.
Jadi, makna metaforis ungkapan aek na litok paiashon itu adalah "kita tak harus menjadi orang suci dulu baru boleh menyatakan kebenaran". Â Lelaki sintua tadi tidak perlu suci dulu baru boleh berkotbah di hadapan umat.
Sebab sekeruh apapun hatimu, sekeruh apapun pikiranmu, pasti ada kebaikan di dasarnya. Kebaikan itu akan berlipat-ganda jika dibagikan kepada  orang lain. Entah itu dalam bentuk teguran atau nasihat kepada sesama, sekadar menunjukkan sesuatu yang benar atau salah.Â
Saya juga menulis artikel ini atas prinsip aek na litok paiashon. Saya pikir, dan semoga kamu sepakat, itu lebih baik ketimbang "mengail di air keruh", bukan? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H