Itu bukan kebiasaan kakekku saja. Semua warga kampung Panatapan, kampungku -- juga kampung Poltak kalau kamu mendadak ingat anak badung ini -- melakukannya.
Bayangkan peristiwa jamak ini. Sewaktu musim tanam padi, para penandur lazim makan siang di tengah sawah, duduk di pematang. Kamu tahu cuci tangannya di mana? Ya, di air sawah yang keruh di dekat kakinya.
Jorok? Itu katamu. Kata orang-orang di kampungku, juga kataku sebagai salah seorang pelaku, aek na litok paiashon.
Oh, ya, jangan kamu pikir air sawah di Panatapan itu semacam air selokan di Jakarta. Hitam penuh polutan dan aneka bakteri jahat, sekurangnya E. coli.Â
Warga kampungku dulu tidak buang air besar di saluran air irigasi. Sebab air irigasi di sana juga untuk air minum dan mandi.
Belakangan hari, saya menyadari, ungkapan aek na litok paiashon itu tak semata bermakna harfiah. Tapi juga metaforis.
Kesadaran itu timbul saat pemilihan sintua, penatua gereja kami. Terpilih seorang lelaki paruh baya, yang kemudian disetujui pastor.
Menariknya, sewaktu proses musyawarah untuk mufakat, ada seorang umat yang keberatan, "Masa sintua kita peminum tuak?" Ditanggapi umat lain, "Siapa di antara bapak-bapak di sini yang bukan peminum tuak?"
Sudah pasti tidak ada yang tunjuk tangan. Bukan orang Batak kalau tak  minum tuak.
"Aek na litok paiashon," kata sintua lama. "Kalau syarat jadi sintua harus orang kudus, kita tak akan pernah punya sintua."
Tentu saja. Sebab semua orang kudus dalam Gereja Katolik adalah orang yang sudah mati.