Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indikasi Cacat Logika dan Etika pada Argumen Pemecatan Dokter Terawan

8 April 2022   15:07 Diperbarui: 9 April 2022   05:17 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua UMUM PB IDI Dr. Adib Khumaidi, Sp.OT dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI (Foto: Rengga Sancaya via detik.com)

Ada indikasi cacat logika dan etika dalam argumentasi IDI untuk pemecatan Prof. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad. (K) dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Cacat logika dan etika itu terindikasi dari argumentasi Dokter Rianto Setiabudy, anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, saat menjelaskan latar belakang pemecataan Dokter Terawan dalam  Rapat Dengar Pendapat (RDP) IDI  dan Komisi IX DPR-RI  (4/4/2022). 

Dalam  RDP itu Rianto mengungkap kelemahan disertasi Doktor (S3) Dokter Terawan (2016)  di FK Universitas Hasanuddin (Unhas). Hal itu diajukan argumen penjelasuntuk pelanggaran kode etik kedokteran.  

Menurut Dokter Rianto, disertasi Dokter Terawan tentang metode Intra-Arterial Flushing (IAHF) itu lemah secara substansial dan metodologis.  Karena itu disertasi tersebut tak bisa menjadi dasar ilmiah untuk IAHF, terapi "cuci otak" atau Digital Subtraction Angiography (DSA), yang dipraktekkan Dokter Terawan.

Saya melihat indikasi cacat logika dan etika pada argumentasi Rianto itu.  Sehingga ia tidak layak diajukan sebagai argumen dasar untuk menyimpulkan Dokter Terawan telah melanggar etika kedokteran.

***

Terlebih dahulu, perlu dilihat butir-butir etika kedokteran yang telah dilanggar Dokter Terawan. Ketua Bidang Hukum, Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, Dokter Beni Satria menyebut empat pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang telah dilanggar.[1]

Pertama, kewajiban  bagi dokter untuk berhati-hati mengumumkan dan menerapkan penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya (pasal 6).

Kedua, larangan bagi dokter untuk memudji diri secara pribadi dan mengaku-ngaku sebagai penyembuh (Pasal 4).

Ketiga, keharusan bagi dokter untuk bersih dari sesuatu faktor yang mengkibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi, antara lain jumlah honorarium yang takpantas dan bertentangan dengan rasa kemanusiaan (Pasal 3, khususnya ayat 17).

Keempat, kewajiban setiap dokter menjunjung tinggi kesejawatan; setiap dokter wajib memperlakukan sejawat sebagaimana ia ingin dperlakukan (Pasal 18).

Argumentasi Dokter Rianto secara spesifik dimaksudkan sebagai bukti penguat untuk menyimpulkan pelangaran etik tersebut pertama.  Dia mengungkap sedikitnya lima kelemahan mendasar disertasi Dokter Terawan, untuk menunjukkan bahwa disertasi itu tidak dapat diterima sebagai dasar ilmiah untuk penerapan IAHF sebagai terapi stroke.

Pertama, penggunaan dosis kecil heparin dalam IAHF/DSA hanya efektif mencegah pemampetan bekuan darah, tapi tidak efektif merontokkan gumpalan darah penyebab stroke di otak.

Kedua, penelitian  IAHF/DSA tidak memiliki kelompok uji pembanding sehingga cacat secara prosedural karena tidak memenuhi kaidah desain penelitian.

Ketiga, tolok ukur keberhasilan yang digunakan adalah parameter pengganti yang tak seharusnya digunakan yaitu pelebaran pembuluh darah pasien.  Harusnya menggunakan parameter terstimoni perasaan pasien, misalnya bisa menggerakkan tubuh secara bebas.

Keempat, dasar penentuan 75 subyek relawan sebagai sampel penelitian  tidak jelas. 

Kelima, penelitian disertasi itu hanya menggunakan prosedur diagnostik untuk prosedur terapeutik.

Intinya, berdasar aegumentasi Dokter Rianto, maka Dokter Terawan dinilai telah melanggar etika kedokteran karena  telah mengumumkan dan menerapkan teknik atau terapi IAHF yang belum teruji kebenarannya secara ilmiah.

***

Walaupun isi argumen Dokter Rianto mungkin benar secara ilmiah, argumen itu menjadi cacat logika jika digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa Dokter Terawan telah melanggar etika kedokteran.  

Ada dua alasannya.  Pertama, disertasi Dokter Terawan adalah murni hasil riset ilmiah/akademik , bukan riset dalam rangka uji klinis IAHF/DSA. Pada saat sidang ujian Doktor di Unhas, promotor/penguji juga sudah menegaskan bahwa prospek penerapan IAHF harus didasarkan pada riset uji klinis.  

Kedua, sebelum Dokter Terawan mempertahankan disertasinya (2016) di Unhas, praktek IAHF itu sudah dilakukan Dokter Terawan sejak tahun 2004.  Data untuk disertasi itu diambil dari perlakuan IAHF terhadap pasien (75 subjek) dalam rentang waktu 2004-2016.

Dengan begitu argumen Dokter Rianto menjadi cacat logika karena dia telah merujuk pada fakta (data/informasi) yang tak relevan untuk menyimpulkan pelanggaran etika oleh Dokter Terawan.

Mestinya, Dokter Rianto cukup mengatakan bahwa penerapan IAHF/DSA oleh Dokter Terawan sampai saat ini masuk kategori pelanggaran etika kedokteran karena dilakukan tanpa dasar uji klinis yang dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. 

Faktanya, sejauh ini, Dokter Terawan memang belum pernah membuka hasil uji klinis IAHF/DSA. Laporan uji klinis inilah yang seharusnya dikejar oleh MKEK-IDI.

Tapi bukannya mempertanyakan hasil uji klinik, Dokter Rianto malah melakukan blunder yang terindikasi cacat etika.  Dia malahan mempertanyakan integritas dan independensi  promotor dan penguji disertasi Dokter Terawan.  

Dia bertanya mengapa promotor/penguji sampai meloloskan disertasi yang dinilainya lemah atau cacat secara metodologi itu dan meluluskan Dokter Terawan menjadi Doktor. Pertanyaan itu disusulinya dengan  dugaan tentang  adanya tekanan eksternal kepada promotor/penguji disertasi tersebut.

Pertanyaan Dokter Rianto terindikasi cacat etika karena dua hal. 

Pertama, nilai utama sebuah disertasi adalah kebaruan (novelty), entah itu di bidang metodologi, teori, atau praksis.  Disertasi Dokter Terawan memenuhi nilai itu karena menawarkan satu pendekatan alternatif (baru) untuk penyembuhan stroke. Sangat mungkin nilai itulah yang dilihat promotor/penguji. 

Pertanyaan Dokter Rianto dengan demikian terkesan meragukan integritas ilmiah/akademik promotor/penguji. Jelas hal itu tidak atau kurang etis disampaikan di ruang publik.

Kedua, dugaan Dokter Rianto tentang adanya tekanan eksternal, jelas meragukan independensi saintifik/akademik para promotor/penguji Dokter Terawan.  Seakan-akan para promotor/penguji disertasi itu adalah individu-individu yang terseubordinasi pada suatu kekuatan non-ilmiah/non-akademik.  Pengungkapan dugaan semacam itu di ruang publik adalah tindakan yang cacat etika.

Bisa dikatakan, untuk membuktikan pelanggaran etika oleh Dokter Terawan, maka Dokter Rianto telah mengajukan argumen yang sebenarnya justru menabrak kaidah logika dan etika.

***

Kabar terakhir dari Menteri Kesehatan, ada harapan bahwa Pengurus Besar (PB) IDI dan Dokter Terawan akan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah pemecatan Dokter Terawan dari IDI.  Itu sesuatu yang layak diapresiasi.  Dampaknya akan positif terhadap kemajuan kedokteran dan kesehatan nasional ke depan.

Satu hal yang mungkin perlu dicatat, mudah-mudahan pertemuan itu, jika merujuk tipologi J. Habermas, adalah suatu "tindakan komunikasi" antara dua pihak yang setara. Bukan "tindakan kerja" yang bersifat sepihak, dimana PB IDI yang memiliki kekuasaan mengadili (dan menghukum) Dokter Terawan yang tak punya kekuasaan. 

Saya khawatir, IDI selama ini menerapkan pendekatan kerja atau kekuasaan. Sangat mungkin hal itulah yang menyebabkan Dokter Terawan enggan memenuhi panggilan MKEK/IDI untuk mempertanggungjawabkan dugaan pelanggaran etika. Sebab dia sudah diposisikan sebagai objek, bukan lagi subjek.  

Penggunaan istilah "sejawat" dalam organisasi IDI mestinya bukan menunjuk pada aksi kekuasaan (kerja), melainkan pada aksi komunikasi yang menempatkan dua pihak pada posisi setara secara sosial.  Hanya dengan aksi komunikasi, PB IDI dan DokterTerawan dapat keluar dari masalah dengan kemenangan pada kedua pihak. (eFTe)

Rujukan:

[1] "Alasan IDI Tak Percaya Riset Cuci Otak Terawan di Unhas", katadata.co.id, 5/4/2022.

[2] "MKEK IDI Duga Unhas Ditekan Demi Luluskan Metode Cuci Otak Terawan", cnnindonesia.com, 4/4/2022.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun