Kedua, sebelum Dokter Terawan mempertahankan disertasinya (2016) di Unhas, praktek IAHF itu sudah dilakukan Dokter Terawan sejak tahun 2004. Â Data untuk disertasi itu diambil dari perlakuan IAHF terhadap pasien (75 subjek) dalam rentang waktu 2004-2016.
Dengan begitu argumen Dokter Rianto menjadi cacat logika karena dia telah merujuk pada fakta (data/informasi) yang tak relevan untuk menyimpulkan pelanggaran etika oleh Dokter Terawan.
Mestinya, Dokter Rianto cukup mengatakan bahwa penerapan IAHF/DSA oleh Dokter Terawan sampai saat ini masuk kategori pelanggaran etika kedokteran karena dilakukan tanpa dasar uji klinis yang dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.Â
Faktanya, sejauh ini, Dokter Terawan memang belum pernah membuka hasil uji klinis IAHF/DSA. Laporan uji klinis inilah yang seharusnya dikejar oleh MKEK-IDI.
Tapi bukannya mempertanyakan hasil uji klinik, Dokter Rianto malah melakukan blunder yang terindikasi cacat etika.  Dia malahan mempertanyakan integritas dan independensi  promotor dan penguji disertasi Dokter Terawan. Â
Dia bertanya mengapa promotor/penguji sampai meloloskan disertasi yang dinilainya lemah atau cacat secara metodologi itu dan meluluskan Dokter Terawan menjadi Doktor. Pertanyaan itu disusulinya dengan  dugaan tentang  adanya tekanan eksternal kepada promotor/penguji disertasi tersebut.
Pertanyaan Dokter Rianto terindikasi cacat etika karena dua hal.Â
Pertama, nilai utama sebuah disertasi adalah kebaruan (novelty), entah itu di bidang metodologi, teori, atau praksis. Â Disertasi Dokter Terawan memenuhi nilai itu karena menawarkan satu pendekatan alternatif (baru) untuk penyembuhan stroke. Sangat mungkin nilai itulah yang dilihat promotor/penguji.Â
Pertanyaan Dokter Rianto dengan demikian terkesan meragukan integritas ilmiah/akademik promotor/penguji. Jelas hal itu tidak atau kurang etis disampaikan di ruang publik.
Kedua, dugaan Dokter Rianto tentang adanya tekanan eksternal, jelas meragukan independensi saintifik/akademik para promotor/penguji Dokter Terawan. Â Seakan-akan para promotor/penguji disertasi itu adalah individu-individu yang terseubordinasi pada suatu kekuatan non-ilmiah/non-akademik. Â Pengungkapan dugaan semacam itu di ruang publik adalah tindakan yang cacat etika.
Bisa dikatakan, untuk membuktikan pelanggaran etika oleh Dokter Terawan, maka Dokter Rianto telah mengajukan argumen yang sebenarnya justru menabrak kaidah logika dan etika.