Keempat, kewajiban setiap dokter menjunjung tinggi kesejawatan; setiap dokter wajib memperlakukan sejawat sebagaimana ia ingin dperlakukan (Pasal 18).
Argumentasi Dokter Rianto secara spesifik dimaksudkan sebagai bukti penguat untuk menyimpulkan pelangaran etik tersebut pertama. Â Dia mengungkap sedikitnya lima kelemahan mendasar disertasi Dokter Terawan, untuk menunjukkan bahwa disertasi itu tidak dapat diterima sebagai dasar ilmiah untuk penerapan IAHF sebagai terapi stroke.
Pertama, penggunaan dosis kecil heparin dalam IAHF/DSA hanya efektif mencegah pemampetan bekuan darah, tapi tidak efektif merontokkan gumpalan darah penyebab stroke di otak.
Kedua, penelitian  IAHF/DSA tidak memiliki kelompok uji pembanding sehingga cacat secara prosedural karena tidak memenuhi kaidah desain penelitian.
Ketiga, tolok ukur keberhasilan yang digunakan adalah parameter pengganti yang tak seharusnya digunakan yaitu pelebaran pembuluh darah pasien. Â Harusnya menggunakan parameter terstimoni perasaan pasien, misalnya bisa menggerakkan tubuh secara bebas.
Keempat, dasar penentuan 75 subyek relawan sebagai sampel penelitian  tidak jelas.Â
Kelima, penelitian disertasi itu hanya menggunakan prosedur diagnostik untuk prosedur terapeutik.
Intinya, berdasar aegumentasi Dokter Rianto, maka Dokter Terawan dinilai telah melanggar etika kedokteran karena  telah mengumumkan dan menerapkan teknik atau terapi IAHF yang belum teruji kebenarannya secara ilmiah.
***
Walaupun isi argumen Dokter Rianto mungkin benar secara ilmiah, argumen itu menjadi cacat logika jika digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa Dokter Terawan telah melanggar etika kedokteran. Â
Ada dua alasannya. Â Pertama, disertasi Dokter Terawan adalah murni hasil riset ilmiah/akademik , bukan riset dalam rangka uji klinis IAHF/DSA. Pada saat sidang ujian Doktor di Unhas, promotor/penguji juga sudah menegaskan bahwa prospek penerapan IAHF harus didasarkan pada riset uji klinis. Â