Tak berapa lama, terdengar bunyi parang beradu dengan batang pohon memenuhi hutan. Â Lalu derak pohon tumbang. Disusul debum batang pohon menghantam lantai hutan.
Menebang pohon di hutan itu ada aturannya. Minimal jaraknya sekitar seratus meter dari bondar dan mata air. Tujuannya mencegah penggundulan hutan sekitar bondar dan mata air. Â
Lalu, posisi rubuh pohon harus diarahkan ke sisi yang paling lowong. Agar pohon tumbang tidak mematahkan pohon-pohon lain yang masih muda.Â
Poltak dan anggota rombongan lainnya sudah sangat menguasai teknik penebangan semacam itu. Â Cukup dengan mengatur posisi dua titik tebang dan kedalaman takikan di dua sisi batang yang berlawanan. Â Kalau ingin rubuh ke barat, maka takikan di sisi barat batang harus lebih rendah dan dalam dibanding sisi timurnya.
"Poltak! Sudah dapat pohon kau?" Binsar berteriak, bertanya.
"Sudah! Sitarak!" jawab Poltak, menyebut nama pohon yang sedang ditebangnya.
Sitarak, Macaranga gigantea terbilang kayu ringan. Gampang dibelah, cocok untuk kayu bakar.
"Kau dapat kayu apa?"
"Simartolu!"
"Bah! Berat kali itu. Â Susah kau nanti menghanyutkannya." Poltak mengingatkan.Â
Simartolu, Schima wallichii itu tergolong kayu keras dan padat. Lazimnya digunakan untuk bahan bangunan dan mebel.Â