Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #087] Dari Hutan dengan Wajah Aneh

16 Maret 2022   07:45 Diperbarui: 16 Maret 2022   20:57 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Sumber foto: kompas.com/dok. istimewa)

"Poltak! Ayo,  berangkat?" Binsar berteriak mengajak dari halaman depan rumahnya.   

Hari itu, Sabtu, lepas tengah hari dan makan siang, Poltak serta Binsar dan Bistok akan pergi mencari kayu bakar ke hutan di sebelah timur kampung.

Kayu bakar itu akan mereka jual kepada toke soban, pedagang pengumpul kayu bakar dari Hutabolon.  Uang hasil penjualannya sebagian untuk keluarga, sebagian lagi ditabung untuk biata darmawisata.

Selain Poltak, Binsar dan Bistok, ikut pula dalam rombongan tiga orang dewasa. Gomgom abang si Binsar, Hotman abang si Bistok, Maruhal si pengantin relatif baru, dan Rudol si pengintip pengantin baru.

"Sebentar! Aku masih mengasah parang!" balas Poltak.  Dia sedang mengasah parang besar warisan kakeknya. Itu aset utama baginya untuk menebang pohon di hutan.

"Ayo, kita berangkat." Hotman memberi aba-aba berangkat.  Dia bertindak sebagai ketua rombongan.  Masuk hutan itu harus ada orang dewasa sebagai penanggungjawab.

Sebelumnya, Hotman sudah memberi tahu kepada sesama warga bahwa siang itu rombongan akan mencari kayu bakar ke hutan. Hal itu perlu karena batang kayu dari hutan akan dihanyutkan mengikuti bondar, saluran irigasi. Itu akan menyebabkan air pancuran keruh di sore hari.

Setelah menyusuri tanggul bondar ke hulu selama satu jam, akhirnya rombongan pencari kayu bakar itu tiba di hutan Sibatuloting. Mata air besar  yang menjadi sumber utama air ke saluran irigasi ada di hutan itu. 

"Ayo, cari pohon sendiri untuk ditebang. Jangan jauh-jauh, ya. Biar tak kesasar." Hotman memberi arahan.

Anggota rombongan segera berpencar. Tiap orang mencari pohonnya sendiri.

Tak berapa lama, terdengar bunyi parang beradu dengan batang pohon memenuhi hutan.  Lalu derak pohon tumbang. Disusul debum batang pohon menghantam lantai hutan.

Menebang pohon di hutan itu ada aturannya. Minimal jaraknya sekitar seratus meter dari bondar dan mata air. Tujuannya mencegah penggundulan hutan sekitar bondar dan mata air.  

Lalu, posisi rubuh pohon harus diarahkan ke sisi yang paling lowong. Agar pohon tumbang tidak mematahkan pohon-pohon lain yang masih muda. 

Poltak dan anggota rombongan lainnya sudah sangat menguasai teknik penebangan semacam itu.  Cukup dengan mengatur posisi dua titik tebang dan kedalaman takikan di dua sisi batang yang berlawanan.  Kalau ingin rubuh ke barat, maka takikan di sisi barat batang harus lebih rendah dan dalam dibanding sisi timurnya.

"Poltak! Sudah dapat pohon kau?" Binsar berteriak, bertanya.

"Sudah! Sitarak!" jawab Poltak, menyebut nama pohon yang sedang ditebangnya.

Sitarak,  Macaranga gigantea terbilang kayu ringan. Gampang dibelah, cocok untuk kayu bakar.

"Kau dapat kayu apa?"

"Simartolu!"

"Bah! Berat kali itu.  Susah kau nanti menghanyutkannya." Poltak mengingatkan. 

Simartolu, Schima wallichii itu tergolong kayu keras dan padat. Lazimnya digunakan untuk bahan bangunan dan mebel. 

Selang dua jam, semua anggota rombongan sudah merampungkan penebangan. Batang pohon sudah dipotong-potong pada ukuran dua meteran, lalu digandengkan satu sama lain menggunakan andor, batang tanaman merambat. Itu untuk memudahkan penghanyutan lewat bondar.

"Awas!" Hotman tiba-tiba berteriak keras.

Tapi terlambat sudah. Gumpalan serupa kabut hitam yang bergerak mendengung keras telah menyelimuti semua anggota rombongan.

Serangan tawon hutan. Itu salah satu bahaya yang mengintai orang yang masuk ke hutan Sibatuloting.  Selain ular, kalajengking, lipan, dan tentu saja, harimau dan beruang. Kadang juga kawanan kera.

"Nyelam ke bondar!" Poltak berteriak memberi solusi di tengah kepanikan menghindari sengatan lebah.

Semua anggota rombongan terjun ke bondar dan menyelam. Bersembunyi di dasar bondar selama mungkin. Itu cara ampuh menghindari serangan tawon. Sebab tawon tidak bisa menyelam.

Ada sekitar sepuluh menit mereka sembunyi di bawah air. Diselingi angkat kepala sekejap-sekejap ambil nafas. 

Tawon hutan itu kehilangan jejak rombongan Poltak. Lalu serentak bergerak mendengung ke arah lembah di sisi selatan bondar. 

"Aman.  Ayo, cepat. Jalan!" Hotman memberi aba-aba.

Semua bangkit dari dasar bondar.  Lalu, tanpa komentar,  bergegas secepat mungkin menyeret batang-batang kayu mengikuti arus air.

Tempat itu harus cepat-cepat ditinggalkan. Tawon hutan itu bisa saja mendadak melancarkan serangan kedua.

Dari dalam tajuk sebatang pohon meranti tinggi besar di lembah selatan bondar, terbang melayang seekor elang madu. 

Dialah biang keladi serangan tawon itu. Dalam perjalanan pulang ke Siberia, tawon migran itu rupanya mampir dulu makan madu di hutan Sibatuloting. 

Karena tawon  tak bisa menyengat marah elang madu, maka diseranglah Poltak dan rombongannya yang kebetulan ada di situ. Tawon marah perlu menyengat.

Sore itu warga Panatapan gempar. Poltak, Binsar, Bistok, Rudol, Maruhal, dan Hotman tiba di kampung dengan wajah aneh.  Benjol-bengkak tak karuan. Ada yang bibirnya jadi radial, hidung benjol, kelopak mata bengkak, pipi jadi tembem, kuping menebal, dan leher benjol-benjol.  Padahal mereka tadi siang berangkat ke hutan dengan wajah yang baik-baik saja.

"Diserang tawon!" jawab Hotman singkat saat ditanya warga apa yang telah terjadi.

"Amangoi. Sakit kalilah, Ompung." Poltak morong-orong, mengeluh kesakitan. 

"Tahankan," kata neneknya sambil mengolesi bibir Poltak yang bengkak menyerupai donat dengan situak ni loba, madu asli tawon hutan. 

Madu asli adalah obat paling manjur untuk menyembuhkan bengkak akibat sengatan tawon. Orang Panatapan tahu itu dari pengalaman.

"Bah! Poltak! Jangan kau jilati pula itu madu!" tegur nenek Poltak. 

Ah, siapa pula yang tahan tak menjilat madu yang menempel di bibir? (Bersambung)

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun