Begitupun dengan motif orang Batak Toba makan bersama di kuburan orangtua atau leluhurnya. Antropolog, juga sosiolog, menyebutnya sebagai ritus kolektif. Suatu ritus penegasan kembali kesatuan keluarga luas, atas dasar ikatan genealogis.Â
Pada orang Batak, ritus kolektif makan bersama di kuburan itu bahkan tak semata pengukuhan kesatuan antar anggota keluarga yang masih hidup. Tapi juga kesatuan dengan anggota keluarga yang sudah mati.
Ada umpasa, ungkapan, dalam masyarakat Batak yang mengatakan "Martondi na mangolu, marbegu na mate." Artinya, "Orang hidup punya jiwa, orang mati punya roh." Jiwa orang hidup menyatu dengan tubuhnya, roh orang mati bersemayam di satu tempat yang disebut parbeguan, hunian roh, lazimnya suatu tempat yang kemudian dianggap keramat. Mungkin pohon beringin tua, mata air, batu besar, atau gua.
Dalam agama asli atau paganisme Batak, sering secara salah kaprah disebut sipele begu, penyembah roh, dipercaya bahwa roh orang mati berumah di parbeguan. Sebab paganisme Batak tak mengenal konsep surga dan neraka ala agama samawi.Â
Agama asli Batak mengenal tiga banua, benua atau ruang kosmos. Banua ginjang, benua atas, sebagai tempat semayam dewata. Banua tonga, benua tengah (bumi datar) sebagai tempat orang hidup. Banua toru, benua bawah (bawah tanah) sebagai tempat tubuh orang mati dikubur, tapi rohnya bersemayan di satu tempat di banua tonga, bertetangga dengan manusia hidup.
Orang Batak, menurut kepercayaan aslinya, yakin bahwa tubuh orang mati menyatu dengan tanah rohnya tetap berada di sekitarnya. Jadi, orang hidup dan mati terpisah secara fisik, tapi jiwa (orang hidup) dan roh (orang mati) masih tetap terhubung dan bisa berkomunikasi.
Motif makan bersama di kuburan dengan demikian bersifat ganda. Secara manifes, yang tampak di permukaan, motifnya adalah penegasan kesatuan antar anggota keluarga yang masih hidup. Secara laten, tak tampak di permukaan, motifnya penegasan akan kesatuan jiwa orang yang masih hidup dan roh anggota keluarga yang sudah mati.
Bagi orang Batak, makanan adalah medium komunikasi untuk penegasan kesatuan itu. Baik orang hidup maupun orang mati (arwah, roh) menikmati makanan yang sama di tempat yang sama. Itu simbol kesatuan dan persatuan, atau perdamaian.
Eksistensi orang mati diakui dengan permintaan kepada arwahnya untuk memberkati melindungi keturunannya, dalam hal mendiang adalah leluhur atau orangtua. Sahala, kuasa roh, orang mati seperti pada contoh kakek Poltak diyakini dapat memberi berkah dan lindungan kepada keturunannya yang masih hidup.
Dengan cara demikian, jiwa orang hidup berkomunikasi dengan roh orang mati, walau tak ada peretemuan dan pembicaraaan nyata.
Akan halnya orang hidup, melalui makan bersama seperti pada contoh keluarga Poltak, menyatakan kesatuan mereka di hadapan arwah kakek Poltak, sekaligus menyatakan keterikatan jiwa mereka dan roh mendiang. Itulah motif sekaligus makna terdalam makan bersama di kuburan bagi orang Batak.