Minggu, 2 Januari 2022 lalu di TPU Kampung Kandang Jaksel, tampak satu keluarga duduk makan bersama, meriung pada sebuah makam. Dugaanku anggota keluarga itu, semua tujuh orang, terdiri dari nenek, bapak dan ibu, serta anak dan cucu. Dari bahasa yang digunakan dalam percakapan, saya pastikan itu keluarga Batak Toba.
"Kok makan di kuburan, sih. Apa tidak ada tempat makan lain yang lebih pantas?" Anak gadisku bertanya sambil geleng-geleng kepala.Â
Makan bersama di kuburan itu di luar imajinasi tergilanya. Dia bisa membayangkan makan siang di atap gedung pencakar langit. Tapi tidak di kuburan.
"Itu ritus kolektif. Salah satu tradisi orang Batak." Saya memberi jawaban singkat. Berharap anak gadisku mengerti. Sebab dia pernah belajar Sosiologi.
Anak gadisku mungkin mewakili mayoritas warga kota Jakarta yang beranggapan makan bersama di kuburan itu aneh, absurd, tak masuk akal. Tapi bagi orang Batak kota yang masih kental "kebatakan"-nya, hal semacam itu lumrah.
Hanya saja, karena terkikis budaya kota, tradisi orang Batak makan bersama di kuburan perlahan-lahan memudar. Maka kejadian keluarga makan bersama di kuburan menjadi pemandangan yang langka dan janggal.
Padahal ada motif-motif indah yang menjadi alas bagi kegiatan makan bersama di kuburan itu. Saya akan coba jelaskan, seturut pengetahuan dan pengalaman sendiri.
Bukan Hanya Orang Batak
Barangkali ada yang nyeletuk, "Orang Batak memang aneh, makan kok di kuburan." Tidak begitu juga. Makan bersama di kuburan itu bukan tradisi khas Batak.
Tradisi serupa terdapat pula pada etnis-etnis lain di nusantara. Masyarakat Aceh Barat Daya misalnya mengenal tradisi kenduri jeurat, makan bersama di pekuburan umum pada kesempatan ziarah kubur setelah Lebaran.Â
Di Padang Pariaman, Sumbar ada juga tradisi serupa, tapi diadakan menjelang Ramadhan. Keluarga-keluarga ziarah ke kubur, membersihkan makam, berdoa, lalu makan bersama.
Di Buleleng Bali, setiap perayaan Galungan, ada tradisi memunjung. Selepas sembahyang di Pura, keluarga-keluarga berziarah ke makam membawa pujung, sajen untuk mendiang, sekaligus makan bersama di situ.
Di Pamekasan, Madura ada tradisi sarwaan. Selepas panen, jelang musim kemarau, warga beramai-ramai ziarah ke kuburan leluhur, mengadakan tahlil dan makan bersama di sana.
Itu untuk menyebut beberapa contoh saja. Di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua mungkin ada juga ritus-ritus sejenis.
Jadi, orang Batak (Toba) tidak sendirian dalam urusan ziarah sambil makan bersama di kuburan leluhur atau anggota keluarga. Itu tergolong tradisi yang dipelihara dalam berbagai komunitas etnik nusantara.
Satu Contoh dari Tanah Batak
Pada orang Batak Toba di Tanah Batak sana, tradisi makan bersama biasa dilakukan setelah Hari Natal atau Tahun Baru. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari ziarah bersama ke kubur orangtua atau leluhur.Â
Dalam masyarakat Batak, Natal dan Tahun Baru adalah momen kumpul keluarga besar di rumah kakek/nenek. Anak-anak dan cucu-cucu kumpul semua.Â
Jika kakek dan atau nenek sudah meninggal, maka momen kumpul keluarga itu sekaligus dimanfaatkan untuk ziarah kubur dan makan bersama.
Untuk memberi gambaran, saya akan beri contoh satu momen makan bersama keluarga Poltak (pseudonim FT) pada 2 Januari 1980, hari kedua Tahun Baru.
Pada hari itu anak-anak dan cucu-cucu kakek (mendiang) dan nenek Poltak berkumpul di rumah kakek Poltak di kampung Panatapan. Mereka merayakan Tahun Baru bersama. Hadir pula kakek-nenek Poltak nomor dua dan nomor lima. Kakek Poltak adalah anak sulung.
Telah disepakati hari itu keluarga akan berziarah ke makam kakek Poltak sekaligus makan bersama di situ.Â
Hidangan telah disiapkan sejak pagi hari. Seekor anak babi gemuk telah disembelih dan diolah menjadi saksang, tanggo-tanggo, dan sira-pege (panggang, bumbu garam, jahe, cabai, dan bawang merah mentah). Nasi putih pulen telah tanak. Kopi telah diseduh dan dituang ke dalam termos.
Tiba saatnya keluarga berangkat ke kuburan kakek Poltak, sekitar 500 meter di sebelah barat kampung. Semua hidangan, berikut perlengkapan makan dan minum, dibawa serta. Tak lupa tikar dan air bersih untuk cuci muka.
Di kuburan, sebagian anggota keluarga membersihkan rerumputan. Sebagian lagi menyiapkan makanan di atas tikar, di kepala kuburan.Â
Secara acak masing-masing anggota keluarga cuci muka di atas makam. Dengan cuci muka, maka wajah jadi bersih dan mata jadi cerah. Maknanya, semoga kakek Poltak manumpak pasu-pasuna, memberkati, sehingga jalan hidup ke depan menjadi cerah.
Di atas tikar, tepat di kepala makam, secara khusus disajikan makanan kesukaan kakek Poltak. Sepiring nasi putih, sepisin saksang dan tanggo-tanggo, sepisin sira-pege, secangkir kopi panas, dan sebatang rokok kretek yang sudah disulut.
Nenek Poltak kemudian duduk menyampaikan makanan itu kepada kakek Poltak. Intinya, dikatakan bahwa keluarga telah datang membawa makanan kesukaan kakek Poltak. Kakek Poltak dipersilahkan menikmatinya. Lalu ditutup dengan permintaan agar kakek Poltak selalu memberkati semua anak-anak, cucu-cucu, dan kerabat yang ditinggalkannya.
Untuk Poltak dimintakan pula berkat khusus. Karena Poltak akan pergi merantau ke pulau Jawa. Jadi dimohonkan agar kakek Poltak selalu menjaganya di rantau.Â
Kakek Poltak nomor lima, bisa melihat arwah, kemudian memberi tahu bahwa arwah kakek Poltak datang dan menikmati seluruh hidangan yang disajikan untuknya. Termasuk secangkir kopi yang mendadak dingin. Serta sebatang rokok kretek yang terbakar habis dengan cepat.
Apakah arwah kakek Poltak benar datang? Nenek Poltak dan kakek Poltak nomor dua, keduanya juga bisa melihat arwah,hanya tersenyum menanggapi kakek nomor lima. Piltak dan anggota keluarga lainbta percaya itulah yang terjadi.
Acara di kuburan itu ditutup dengan makan bersama, diawali dengan doa yang didaraskan nenek Poltak. Lalu, sebagaimana lazimnya orang Batak makan bersama, ada keriuhan tukar-kata, tawa dan bahak, tengkar kecil yang jadi lelucon, dan nasihat-nasihat sekilas dari orang tua.Â
Itu makan bersama yang riuh tapi intim, merekatkan seluruh anggota keluarga yang sehari-hari hidup terpisah, secara ruang maupun waktu.
Ritus Kolektif, Kesatuan Orang Hidup dan Mati
Apa motif makan bersama di kuburan pada tradisi berbagai suku bangsa di nusantara? Tradisi di Aceh, Sumbar, Madura, dan Bali itu menyebut motif silaturahmi antar warga yang masih hidup, dan pengukuhan harapan akan peneriman Tuhan atas mendiang di akhirat.
Begitupun dengan motif orang Batak Toba makan bersama di kuburan orangtua atau leluhurnya. Antropolog, juga sosiolog, menyebutnya sebagai ritus kolektif. Suatu ritus penegasan kembali kesatuan keluarga luas, atas dasar ikatan genealogis.Â
Pada orang Batak, ritus kolektif makan bersama di kuburan itu bahkan tak semata pengukuhan kesatuan antar anggota keluarga yang masih hidup. Tapi juga kesatuan dengan anggota keluarga yang sudah mati.
Ada umpasa, ungkapan, dalam masyarakat Batak yang mengatakan "Martondi na mangolu, marbegu na mate." Artinya, "Orang hidup punya jiwa, orang mati punya roh." Jiwa orang hidup menyatu dengan tubuhnya, roh orang mati bersemayam di satu tempat yang disebut parbeguan, hunian roh, lazimnya suatu tempat yang kemudian dianggap keramat. Mungkin pohon beringin tua, mata air, batu besar, atau gua.
Dalam agama asli atau paganisme Batak, sering secara salah kaprah disebut sipele begu, penyembah roh, dipercaya bahwa roh orang mati berumah di parbeguan. Sebab paganisme Batak tak mengenal konsep surga dan neraka ala agama samawi.Â
Agama asli Batak mengenal tiga banua, benua atau ruang kosmos. Banua ginjang, benua atas, sebagai tempat semayam dewata. Banua tonga, benua tengah (bumi datar) sebagai tempat orang hidup. Banua toru, benua bawah (bawah tanah) sebagai tempat tubuh orang mati dikubur, tapi rohnya bersemayan di satu tempat di banua tonga, bertetangga dengan manusia hidup.
Orang Batak, menurut kepercayaan aslinya, yakin bahwa tubuh orang mati menyatu dengan tanah rohnya tetap berada di sekitarnya. Jadi, orang hidup dan mati terpisah secara fisik, tapi jiwa (orang hidup) dan roh (orang mati) masih tetap terhubung dan bisa berkomunikasi.
Motif makan bersama di kuburan dengan demikian bersifat ganda. Secara manifes, yang tampak di permukaan, motifnya adalah penegasan kesatuan antar anggota keluarga yang masih hidup. Secara laten, tak tampak di permukaan, motifnya penegasan akan kesatuan jiwa orang yang masih hidup dan roh anggota keluarga yang sudah mati.
Bagi orang Batak, makanan adalah medium komunikasi untuk penegasan kesatuan itu. Baik orang hidup maupun orang mati (arwah, roh) menikmati makanan yang sama di tempat yang sama. Itu simbol kesatuan dan persatuan, atau perdamaian.
Eksistensi orang mati diakui dengan permintaan kepada arwahnya untuk memberkati melindungi keturunannya, dalam hal mendiang adalah leluhur atau orangtua. Sahala, kuasa roh, orang mati seperti pada contoh kakek Poltak diyakini dapat memberi berkah dan lindungan kepada keturunannya yang masih hidup.
Dengan cara demikian, jiwa orang hidup berkomunikasi dengan roh orang mati, walau tak ada peretemuan dan pembicaraaan nyata.
Akan halnya orang hidup, melalui makan bersama seperti pada contoh keluarga Poltak, menyatakan kesatuan mereka di hadapan arwah kakek Poltak, sekaligus menyatakan keterikatan jiwa mereka dan roh mendiang. Itulah motif sekaligus makna terdalam makan bersama di kuburan bagi orang Batak.
Jadi, jika kamu kebetulan menyaksikan keluarga Batak makan bersama di kuburan, maka tahulah kamu bahwa mereka sedang menjalankan ritus kolektif, peneguhan kembali kesatuan jiwa antar mereka yang masih hidup, dan kesatuan jiwa mereka dan roh mendiang. Apakah ada hal yang lebih indah dari itu? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H