"Kematian mengajarkan kehidupan lewat teks biografis yang terpahat pada batu nisan." -Felix Tani
Selalu ada hal menarik di kuburan. Itu yang membuatku senang berkunjung ke taman pemakaman. Sebelum suatu hari nanti, saya boleh mukim selamanya di sana.
Saya selalu beranggapan pekuburan itu adalah buku pelajaran kehidupan. Dia adalah realitas sosiologis yang dibekukan di ruang publik. Teks-teks sosial yang dipahatkan pada nisan-nisan.Â
Teks-teks sosial pada nisan orang-orang mati itu mengajarkan sejarah kehidupan kepada orang-orang hidup. Dengan satu syarat orang hidup tak menganggap kematian sebagai dunia bawah tanah yang rendah.
Nisan-nisan yang BerceritaÂ
Di sektor Kristen di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kampung Kandang, Jakarta Selatan, saya kerap takjub saat membaca satu per satu nisan kuburan. Ada saja informasi yang mengejutkan.
Semisal saya menemukan fakta mendiang Rinto Harahap ternyata dimakamkan di situ. Juga artis film Ruth Pelupessy. Konon Eddy Silitonga juga ada di situ. Tapi saya belum ketemu nisannya.
Lain waktu saya menemukan nisan yang menginformasikan tempat lahir mendiang di pedalaman Tanah Batak sana puluhan tahun lalu. Fakta kuburannya ada di Kampung Kandang, Jakarta adalah indikasi perjalanan panjang  hidup perantau yang tak pernah mudah. Â
Lalu ada pula fakta tak terduga yang membuatku tercenung. Tahun lalu tanpa sengaja kutemukan nisan Dr. Daniel Dhakidae, mantan Kalitbang Kompas di sana. Beliau dulu salah seorang promotorku waktu menempuh program doktoral.
Satu hal yang kemudian kusadari, Â dan itu sangat menarik, nisan-nisan di TPU itu adalah koleksi biografi ringkas para mendiang. Informasi pada nisan adalah cerita tentang suatu kehidupan yang pernah ada.
Informasi tanggal lahir dan wafat pada nisan mengungkap usia hidup: mati lahir, batita, balita, anak-anak, remaja, muda, paruh baya, tua, lansia.