Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #086] Gurunami, Kami Lelah Bersekolah

16 Februari 2022   19:10 Diperbarui: 16 Februari 2022   19:13 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Sumber: kompas.com/dok. istimewa)

Rabu, 3 Januari 1973, hari pertama masuk sekolah di SD Hutabolon. Setelah pembagian buku rapor di ujung tahun 1972 yang lalu.

Poltak dan kawan-kawannya, seluruhnya tujuhbelas anak, kini duduk di ruang Kelas 6. Semua anak naik dari Kelas 5. Kecuali Polmer yang sudah lebih dulu berangkat ke surga. 

Poltak dan kawan-kawannya sungguh yakin Polmer sudah di surga. Guru Gayus, guru agama, bilang begitu.  Meragukan kata-kata Guru Gayus berarti meragukan hamba Yesus Kristus. Itu dosa.

"Anak-anakku, selamat datang di kelas enam." Guru Arsenius, guru kelas enam, menyapa Poltak dan kawan-kawannya. 

"Tahun 1973 ini tahun terakhir kalian belajar2 di SD Hutabolon ini," lanjutnya. 

Kelas hening. Murid-murid kelas enam mendengar dengan sungguh-sungguh.

Guru Arsenius adalah guru senior di SD Hutabolon. Dia hanya kalah tua dari Guru Gayus.   Guru Henok, Kepala Sekolah, masih di bawahnya.

Sosok Guru Arsenius itu  tinggi dan langsing. Tampilannya tampak sehat pada usia awal limapuluhan. Rona wajahnya menyinarkan keramahan. Bibirnya, di bawah naungan kumis beruban,  tampak selalu mengulum senyum.  

"Harapan, Pak Guru, kalian semua lulus SD di akhir tahun ini.  Karena itu kita harus belajar sungguh-sungguh," lanjutnya. "Sebelum kita mulai pelajaran, ada yang mau bertanya?"

Tawaran yang membingungkan para siswa.  Lazimnya, guru menyampaikan materi ajar dulu.  Baru kemudian murid bertanya.  Bukan sebaliknya.

Tapi karena sudah diberi kesempatan bertanya, Poltak tak ingin menyia-nyiakannya.  Cepat-cepat dia angkat telunjuk.

"Ya, Poltak.  Mau tanya apa."

"Santabi, Gurunami. Di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia ada cerita tentang darmawisata sekolah.  Kami sudah lima tahun bersekolah. Kami lelah, Gurunami. Bolehkah kita berdarmawisata tahun ini?"

"Bah, bagus kali pertanyaanmu, Poltak.  Pak Guru sudah belasan tahun mengajar di sini. Belum pernah juga berdarmawisata." Guru Arsenius menghela nafas sejenak.  Lalu menyapukan pandangan ke seluruh muridnya. "Anak-anak, setuju kita berdarmawisata tahun ini?"

"Setuju, Gurunami," jawab murid-murid serempak, dengan wajah sumringah.  Sebab tak seorangpun dari mereka pernah berdarmawisata. Itu impian mewah yang tak terucapkan.

Kelas langsung ramai oleh kasak-kusuk.  "Ke mana kita darmawisata?"  "Berapa ongkosnya, ya."  "Ke Berastagi saja."  "Ke Medanlah, lihat kapal terbang dan kapal laut." "Ke Siantar saja, ke Kebun Binatang." "Ke Parapat saja, dekat." "Yaah, sekalian ke onan Tigaraja saja kau, beli ikan asin."

"Anak-anak, dengarkan Pak Guru."  Kasak-kusuk langsung terputus. Kelas kembali hening. 

"Darmawisata tak perlu jauh.  Biayanya mahal. Kita ke Parapat saja, mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno.  Dari situ kita naik kapal ke Sibaganding, melihat batu gantung. Kemudian menyeberang ke Tomok.  Melihat makam raja-raja. Bagaimana, setuju?"

"Setuju, Gurunami," jawab murid-murid kompak. Di benak para murid,  kalau Guru Arsenius sudah memutuskan begitu,berarti itulah yang terbaik. Tak perlu lagi dibantah.

"Baiklah, kalau begitu.  Beritahu kepada orangtua masing-masing, pada liburan caturwulan pertama kita berdarmawisata. Agar orangtuamu bisa menyediakan biayanya."

Poltak mengangkat telunjuk lagi.

"Apa lagi, Poltak."

"Santabi, Gurunami.  Usul, Gurunami.  Jangan orangtua yang menyediakan biayanya.  Tapi kami, murid-murid sendirilah yang mencari biayanya."

"Bah, belagak pula kau, Poltak.  Macam sudah bisa saja cari uang kau!"  Jonder berteriak protes.

"Macam manalah cara kau dapat duit, Poltak?" tanya Alogo dengan nada sinis.

"Sudah, diam dulu." Guru Arsenius menenangkan para murid. "Usulmu menarik, Poltak.  Bisa kau jelaskan caranya?"

"Banyak caranya, Gurunami. Bisa ikut jual rumput ke pemborong lapangan golf di Parapat.  Jual kayu bakar ke toke soban. Jual buah makadamia ke dinas kehutanan. Menangkap ikan Batak di sungai untuk dijual. Menjajakan gula-gula di sekolah atau pesta adat. Asalkan mau, pasti ada jalan, Gurunami."

Poltak tidak sedang membual.  Usulannya berdasar pengalaman sendiri. Binsar, Bistok, dan dia sudah beberapa kali menjual buah makadamia ke dinas kehutanan. Menjual kayu bakar ke toke soban, kayu bakar.  Membungkus bibit pinus di pesemaian dinas kehutanan. Bahkan dia sendiri pernah menjajakan gula-gula, bersaing dengan Berta, di sekolah.

"Anak-anak, usul Poltak masuk akal," kata Guru Arsenius. "Mulai hari ini, Pak Guru minta, setiap murid harus berusaha mencari uang sendiri untuk biaya darmawisata. Beritahu itu kepada orangtua masing-masing. Setuju, ya."

"Setuju, Gurunami," jawab murid-murid serempak.  

Tapi kali ini diimbuhi dengan sungut-sungut. "Bah, gara-gara Si Poltak ini." "Dipikir mudah cari duit?" "Anak sekolah disuruh cari uang." "Apa gunanya orangtua." "Awas kau Poltak."

"Poltak. Kau bikin susah saja." Jonder berbisik keras dari bangku di sebelah kiri Poltak.

"Apa susahnya, Jonder.  Tiap pulang sekolah, kau kan bantu bapakmu menggali rumput di Peabolak. Kalian menjualnya  ke lapangan golf, kan?" balas Poltak sambil melotot.

Jonder terdiam. Tak bisa berbantah lagi. Poltak benar.

Pelajaran pada hari pertama masuk di Kelas 6 hanya pengantar saja.  Guru Arsenius menjelaskan isi pelajaran di kelas-kelas sebelumnya secara garis besar. Kemudian menjelaskan secara ringkas pelajaran yang akan diberikan di Kelas 6. Terutama pelajaran Bahasa Indonesia, Berhitung, Ilmu Ukur, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, dan Sejarah.

Lonceng bubaran sekolah berdentang.  Ucapan selamat siang untuk Guru Arsenius diteriakkan. Murid-murid Kelas 6 berebut keluar ruangan.  

"Poltak!" Berta memanggil, sambil berlari kecil menyusuli Poltak.  "Aku tak bisa lagilah jualan gula-gula.  Sudah habis modalku," kata Berta setelah bersisian dengan Poltak.

"Bah, gampanglah itu, pariban. Kau akan kuberi modal untuk marrengge-rengge," jawab Poltak bercanda.  

"Oi, enak kalipun na marpariban ini." Jonder yang berendeng dengan Poltak meledek.

Marrengge-rengge adalah kegiatan menjaja buah-buahan, sayur-mayur, dan bumbu-bumbu dapur secara kecil-kecilan.  Itu kegiatan khas perempuan Batak. Pelakunya disebut parrengge-rengge.

"Kurang ajar kau, Poltak! Aku mau jadi dokter. Paliasma i gabe parrengge-rengge!" Amit-amitlah jadi parrengge-rengge. 

Berta mengayunkan tas bukunya ke punggung Poltak. Tapi gerak kelitan Poltak lebih cepat. Tas buku itu melayang lepas.  Lalu tanpa ampun mendarat telak di bawah perut Jonder.  (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun