Tapi karena sudah diberi kesempatan bertanya, Poltak tak ingin menyia-nyiakannya. Â Cepat-cepat dia angkat telunjuk.
"Ya, Poltak. Â Mau tanya apa."
"Santabi, Gurunami. Di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia ada cerita tentang darmawisata sekolah. Â Kami sudah lima tahun bersekolah. Kami lelah, Gurunami. Bolehkah kita berdarmawisata tahun ini?"
"Bah, bagus kali pertanyaanmu, Poltak. Â Pak Guru sudah belasan tahun mengajar di sini. Belum pernah juga berdarmawisata." Guru Arsenius menghela nafas sejenak. Â Lalu menyapukan pandangan ke seluruh muridnya. "Anak-anak, setuju kita berdarmawisata tahun ini?"
"Setuju, Gurunami," jawab murid-murid serempak, dengan wajah sumringah. Â Sebab tak seorangpun dari mereka pernah berdarmawisata. Itu impian mewah yang tak terucapkan.
Kelas langsung ramai oleh kasak-kusuk. Â "Ke mana kita darmawisata?" Â "Berapa ongkosnya, ya." Â "Ke Berastagi saja." Â "Ke Medanlah, lihat kapal terbang dan kapal laut." "Ke Siantar saja, ke Kebun Binatang." "Ke Parapat saja, dekat." "Yaah, sekalian ke onan Tigaraja saja kau, beli ikan asin."
"Anak-anak, dengarkan Pak Guru." Â Kasak-kusuk langsung terputus. Kelas kembali hening.Â
"Darmawisata tak perlu jauh. Â Biayanya mahal. Kita ke Parapat saja, mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno. Â Dari situ kita naik kapal ke Sibaganding, melihat batu gantung. Kemudian menyeberang ke Tomok. Â Melihat makam raja-raja. Bagaimana, setuju?"
"Setuju, Gurunami," jawab murid-murid kompak. Di benak para murid, Â kalau Guru Arsenius sudah memutuskan begitu,berarti itulah yang terbaik. Tak perlu lagi dibantah.
"Baiklah, kalau begitu. Â Beritahu kepada orangtua masing-masing, pada liburan caturwulan pertama kita berdarmawisata. Agar orangtuamu bisa menyediakan biayanya."
Poltak mengangkat telunjuk lagi.