Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Etnosentrisme, Intoleransi, dan Penyepakan Sesajen Semeru

24 Januari 2022   06:56 Diperbarui: 24 Januari 2022   16:51 2251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi literasi toleransi (KOMPAS/DIDIE SW)

Penyepakan sesajen di Semeru adalah titik kecil di pucuk gunung es intoleransi dan radikalisme keagamaan di Indonesia. 

Penyepakan sesajen di Desa Supiturang, Pronojiwo Lumajang, area terdampak erupsi Semeru, oleh HF yang viral baru-baru ini bukan suatu kejadian yang bersifat individual. Atau, bukan suatu kasus tunggal yang berdiri sendiri, dalam arti cukup dijelaskan dan selesai pada dirinya sendiri. Bukan, bukan seperti itu.

Dia adalah gejala sosial, fakta sosial berulang yang terjadi dalam ragam rupa di ragam ruang dan waktu di negeri ini. Sebagai fakta sosial, penyepakan sesajen itu adalah bentuk intoleransi. Dia dapat dijelaskan sebagai akibat yang disebabkan fakta sosial lain yaitu paham etnosentrisme.

Hubungan sebab-akibatnya begini. Etnosentrisme menyebabkan intoleransi, dalam sikap dan tindakan. Penyepakan sesajen itu adalah tindakan intoleran yang diperlihatkan kepada khalayak. Tentu dengan motif yang khas etnosentris: sesajen itu sesat.

Saya akan menjelaskan soal penyepakan sesajen itu nanti. Sebelum ke sana, saya ingin kita sepaham dulu tentang pengertian etnosentrisme dan intoleransi dalam perspektif sosiologis.

Dari Etnosentrisme ke Intoleransi

Etnosentrisme itu, aslinya, menunjuk pada keyakinan akan superioritas etnis sendiri dibanding etnis lain. Superioritas itu meliputi antara lain penilaian bahwa gagasan, tindakan, dan kebendaan.

Misalnya, seorang Jawa menilai budaya etnisnya lebih halus  dibanding budaya semua etnis lain di Indonesia.  Dengan itu lalu dia bwrpikir warga etnis lain mestinya menyerap nilai-nilai budaya Jawa agar memiliki perangaia halus.

Konsep etnosentrisme itu kemudian diterapkan juga pada analisis entitas-entitas sosial lain di luar etnis. Dalam hal itu, etnosentrisme diberi arti umum yaitu penilaian pada kelompok sosial lain menggunakan ukuran-ukuran kelompok sendiri.

Salah satunya yang paling menonjol adalah gejala etnosentrisme di ranah agama. Umat satu agama mengklaim agamanya yang benar dan, karena itu, jalan selamat. Sedang agama lain semua salah dan, karena itu, sumbet celaka.

Sikap etnosentris semacam itu lalu membentuk respon sosial intoleransi. Tidak dapat menerima kehadiran agama lain, baik umatnya maupun kegiatan dan tempat ibadahnya.

Pada wujud ekstrimnya, lewat proses indoktrinasi, intoleransi itu dapat berkembang menjadi radikalisme. Radikalisme itu tak sebatas pikiran lagi. Tapi sudah berupa ragam bentuk tindakan permusuhan, mulai dari persekusi sampai teror bom.

Aksi Intoleransi Mengarah Radikalisme

Saat menyepak sesajen yang didapatinya di Supiturang, Pronojiwo, HF berujar:

“Ini yang membuat murka Allah, jarang sekali disadari bahwa inilah yang mengundang murka Allah hingga menurunkan azabnya."

Dalam video yang beredar, HF tidak hanya menyepak atau melemparkan satu sesajen, tapi dua di tempat beda. Artinya, tindakannya bersenga

Atas aksinya itu, HF kemudian dilaporkan kepada yang berwajib dengan sangkaan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap satu golongan (Pasak 156 KUHP).

Setelah ditangkap polisi, HF kemudian mengatakan aksi itu dilakukannya karena sesajen tidak sesuai dengan keyakinannya. Diketahui, HF seorang penganut Islam.

Tak bisa lain, tindakan HF itu adalah bentuk intoleransi terhadap religi, agama dan kepecayaan, selain Islam aliran tertentu yang dia anut. Bentuk intoleransi yang sudah mengarah pada radikalisme, merusak kelengkapan simbolik ibadah religi lain yakni sesajen.

Sesajen sejatinya adalah bahasa simbolik dalam komunikasi antara manusia dan roh yang dipercaya sebagai penguasa atau dewata. Sesajen di Sipiturang itu adalah simbol komunikasi warga lokal dengan roh penguasa Semeru. Itu adalah penyampaian pesan maaf atas kesalahan manusia terhadap alam gunung Semeru, sekaligus permohonan agar diberi ampunan, ditandai berhentinya erupsi Semeru.

Konteks sesajen itu jelas monisme, kesatuan interaktif antara manusia dengan alam, sebagaimana lazim dalam religi-religi asli di Timur. Tindakan pemeliharaan pada alam akan dibalas hasil bumi melimpah. Sebaliknya tindakan merusak akan dibalas alam dengan bencana. 

Jadi, sesajen di Sipiturang itu adalah simbol rekonsiliasi warga lokal dengan alam Gunung Semeru. Itu adalah kearifan lokal tentang langkah pemulihan keserasian antara manusia dengan alamnya.

Pemahaman makna sesajen seperti di atas tidak hidup pada alam pikir atau imani HF. Berdasar ujarannya dapat diketahui bagi HF sesajen adalah bentuk kesyirikan. Menurut keyakinannya hal itu akan menurunkan murka Allah, semacam erupsi Semeru itu. 

Karena sesajen dipahami HF sebagai bentuk kesyirikan, penyembahan kepada "tuhan lain" (selain Allah), maka di alam pikir HF sesajen adalah simbol penghinaan pada Allah yang disembahnya. Karena itu, sesajen harus dibuang, atau dipetlakukan hina dengan cara disepak.

Jelas bahwa HF telah bersikap etnosentris, menilai religi lain menggunakan ukuran-ukuran agamanya sendiri. Hal itu membuatnya jadi intoleran terhadap religi lain yang dianggapnya syirik atau mungkin juga musyrik. Intoleransi pada diri HF kemudian mengarah pada radikalisme, ditandai dengan aksi perusakan sesajen religi lokal.

Langkah Radikal Mengikis Etnosentrisme 

Di negeri ini, orang yang intoleran atau radikal dalam beragama bukan hanya HF seorang. Fakta HF membagikan video penyepakan sesajen ke beberapa grup perpesanan nenjadi indikasi adanya sejumlah orang lainnya yang sepaham dengannya.

Fakta intolerasi/radikalisme yang lebih luas dan variatif sudah menjadi catatan sejarah relasi antar umat beragama di negeri ini. Mulai dari penustaan dan pelarangan atribut agama lain, pelarangan ibadah, perusakan rumah ibadah, penolakan warga beragama lai satu sekolah atau pemukinan dan makam, pembunuhan umat beragama lain, sampai bom di rumah-rumah ibadah.

Aksi penyepakan sesajen adalah sesuatu yang kemudian bisa meningkat jadi pelarangan ritual kepercayaan asli lokal dan persekusi terhadap penganutnya. Jadi hal tersebut tak boleh dianggap remeh.

Seperti sudah saya bilang di muka, aksi HF itu bukanlah aksi tunggal yang berhenti pada dirinya. Tapi itu adalah fakta sosial, tindakan intoleran/radikal keagamaan yang sudah, sedang, dan akan terjadi di berbagai ruang dan waktu dengan ragam bentuk dan intensitas.

Fakta sosial intoleransi/radikalisme semacan itu jelas tidak saja merusak harmoni relasi antar umat beragama. Tapi juga memicu disintegrasi masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk, bhinneka tunggal ika.

Hanya memberi sanksi pada HF atas aksinya itu tidak akan menyelesaikan masalah intoleransi dan radikalisme keagamaan. Tindakan HF itu hanya butir kecil di pucuk gunung es intoleransi/radikalisme keagamaan yang bisa menenggelamkan kapal NKRI. Karena itu perlu langkah-langkah yang sangat mendasar untuk mengatasinya. 

Hal utama dan pertama yang harus dilakukan adalah mengikis sikap etnosentrisme dalam relasi antar umat beragama. Sikap itu tidak muncul tiba-tiba tapi tumbuh melalui proses ajar keagamaan yang egosentris sehak usia dini. Mengajarkan agama sendiri sebagai yang terbaik, tapi dengan cara menjelek-jelekkan (mengkafirkan) agama lain.

Karena di Indonesia ada Kementerian Agama yang mengurusi kehidupan beragama, maka saya ingin menutup artikel ini dengan mengusulkan kepada kementerian itu tiga langkah mendasar untuk mengatasi intoleransi/radikalisme keagamaan di Indonesia.

Pertama, mengganti pendidikan agama yang bersifat segregatif di sekolah negeri, menjadi pendidikan keagamaan yang bersifat integratif. Artinya, siswa tak diberi pelajaran agama sesuai agamanya. Tapi diberi pelajaran keagamaan, yaitu pengetahuan tentang makna dan praktek sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" di Indonesia.

Kedua, menghilangkan identitas yang bersifat segregatif di Kartu Identitas Penduduk (KTP). Pencantuman identitas keagamaan di KTP bermakna penguatan negara pada pembedaan warga negara berdasar agamanya.

Ketiga, melarang penggunaan simbol-simbol agama dan isu-isu keagamaan yang mengarah pada pembentukan polarisasi atau bahkan perpecahan masyarakat berdasar agama.

Dua langkah terakhir adalah wacana lama yang harus dibarukan. Langkah pertama tidak sepenuhnya optimal, jika dua langkah terakhir tidak dilakukan secara simultan. 

Mungkin ada yang langsung berkomentar, "Wah, itu tiga langkah radikal." Ya, benar sekali, itu solusi radikal. Ada yang salah?

Gejala intoleransi/radikalisme keagamaan yang sudah merasuk ke tulang sumsum sebagian warga negeri ini memang harus diatasi dengan langkah-langkah yang radikal juga. Kecuali ada cara yang lemah-lembut dan efektif, mari kita diskusikan dengan kepala dingin.(eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun