Penyepakan sesajen di Semeru adalah titik kecil di pucuk gunung es intoleransi dan radikalisme keagamaan di Indonesia.Â
Penyepakan sesajen di Desa Supiturang, Pronojiwo Lumajang, area terdampak erupsi Semeru, oleh HF yang viral baru-baru ini bukan suatu kejadian yang bersifat individual. Atau, bukan suatu kasus tunggal yang berdiri sendiri, dalam arti cukup dijelaskan dan selesai pada dirinya sendiri. Bukan, bukan seperti itu.
Dia adalah gejala sosial, fakta sosial berulang yang terjadi dalam ragam rupa di ragam ruang dan waktu di negeri ini. Sebagai fakta sosial, penyepakan sesajen itu adalah bentuk intoleransi. Dia dapat dijelaskan sebagai akibat yang disebabkan fakta sosial lain yaitu paham etnosentrisme.
Hubungan sebab-akibatnya begini. Etnosentrisme menyebabkan intoleransi, dalam sikap dan tindakan. Penyepakan sesajen itu adalah tindakan intoleran yang diperlihatkan kepada khalayak. Tentu dengan motif yang khas etnosentris: sesajen itu sesat.
Saya akan menjelaskan soal penyepakan sesajen itu nanti. Sebelum ke sana, saya ingin kita sepaham dulu tentang pengertian etnosentrisme dan intoleransi dalam perspektif sosiologis.
Dari Etnosentrisme ke Intoleransi
Etnosentrisme itu, aslinya, menunjuk pada keyakinan akan superioritas etnis sendiri dibanding etnis lain. Superioritas itu meliputi antara lain penilaian bahwa gagasan, tindakan, dan kebendaan.
Misalnya, seorang Jawa menilai budaya etnisnya lebih halus  dibanding budaya semua etnis lain di Indonesia.  Dengan itu lalu dia bwrpikir warga etnis lain mestinya menyerap nilai-nilai budaya Jawa agar memiliki perangaia halus.
Konsep etnosentrisme itu kemudian diterapkan juga pada analisis entitas-entitas sosial lain di luar etnis. Dalam hal itu, etnosentrisme diberi arti umum yaitu penilaian pada kelompok sosial lain menggunakan ukuran-ukuran kelompok sendiri.
Salah satunya yang paling menonjol adalah gejala etnosentrisme di ranah agama. Umat satu agama mengklaim agamanya yang benar dan, karena itu, jalan selamat. Sedang agama lain semua salah dan, karena itu, sumbet celaka.
Sikap etnosentris semacam itu lalu membentuk respon sosial intoleransi. Tidak dapat menerima kehadiran agama lain, baik umatnya maupun kegiatan dan tempat ibadahnya.