Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Indonesia Versus Singapura, Drama Korea dengan Plot Jepang di Lapangan Hijau

27 Desember 2021   05:00 Diperbarui: 27 Desember 2021   10:50 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Drama Korea" di Lapangan Hijau: Momen saat pemain Singapura Safuwan Baharudin mendapat kartu merah pada semifinal leg kedua Piala AFF 2020 antara Indonesia melawan Singapura [(c) AP Photo via bola.net]

"Sepakbola adalah imajinasi dalam aksi. Karena itu ulasan sepakbola harus imajinatif." -Felix Tani

Laga semifinal leg 2 Piala AFF 2020 antara Tim Indonesia dan Tim Singapura Sabtu malam lalu  (25/12/2021 pukul 19.30 WIB) mengingatkan saya pada pertarungan daramatis antara samurai Miyamoto Musashi dan Sasaki Kojiro pada 3 April 1612 di Pulau Ganryu, Jepang.

Musashi dan Kojiro adalah dua orang samurai terhebat, di puncak piramida samurai, pada zamannya. Tidak ada seorang pun samurai di masa itu yang mampu mengalahkan mereka berdua.  

Musashi terkenal dengan senjata bokken, pedang kayu, dan jurus samurai kembar. Dengan pedang kayu, dia bisa memecahkan kepala sejumlah lawan.  Dengan jurus samurai kembar, di tangan kiri dan kanan, dia mampu menaklukkan puluhan orang lawan.

Musashi adalah seorang samurai anarkis dalam arti samurai "tanpa tuan"  yang menemukan dan menentukan "jalan samurai sendiri". Dia tampil sebagai samurai rendah hati, kreatif , jago strategi, dan mampu merusak lawan secara psikologis.

Kojiro terkenal dengan senjata nodachi, pedang panjang, dan jurus tsubame gaeshi, sabetan ekor walet. Jurus itu, meniru gerakan turun-naik ekor walet saat terbang, adalah gerak sabetan ke bawah dan balik lagi ke atas secepat kilat. Lazimnya, sabetan ke bawah membuka ruang kosong  bagi serangan lawan ke bagian atas tubuh. Tapi Kojiro bisa secepat kilat menutup ruang itu dengan sabetan balik ke atas.

Kojiro, kebalikan dari Musashi, adalah seorang samurai ortodoks,  produk didikan sarat disiplin. Dia cerdas, inovatif, percaya diri, tapi agak rentan secara psikologis.

Pertarungan Musashi dan Kojiro, atas inisiatif samurai senior Hosokawa Tadaoki, dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan siapa yang paling hebat di antara keduanya.

Kojiro yang sudah lebih dulu bersiap di Pulau Ganryu meledak emosinya karena Musashi, sebagai bagian dari perang psikis, sengaja terlambat tiba hampir 3 jam. Saat akhirnya Musashi mendarat di pantai Ganryu, Kojiro dalam amarahnya berlari menyongsong, menghunus pedang dan membuang sarungnya.

"Kojiro! Kau sudah kalah! Kalau kau yakin menang, kau tak akan membuang sarung pedangmu!" Musashi langsung menghajar lagi  psikis Kojiro.

Kojiro terhenyak.

"Aku tak memerlukannya! Aku tak akan pakai lagi pedang yang sudah membunuhmu!" balasnya untuk mengangkat mental yang mulai goyah.  

Dalam sebuah pertarungan singkat, Kojiro melancarkan jurus sabetan ekor walet yang meleset sekian milimeter di depan wajah Musashi. Pada saat bersamaan Musashi melompat sambil menetak cepat ubun-ubun Kojiro dengan bokken. Kojiro kalah, tewas.

Inilah kunci kekalahan Kojiro. Pertama, secara psikologis dia sudah kalah karena marah atas keterlambatan Musashi. Kedua, Musashi secara cerdik berhasil memanfaatkan silau matahari untuk menutup penglihatan Kojiro. Ketiga, untuk pertarungan itu, Musashi secara khusus telah membuat bokken yang ukurannya lebih panjang dari pedang Kojiro.

***

Laga Sabtu malam itu, dalam imajinasi saya, adalah pemanggungan kembali pertarungan Musashi dan Kojiro empat abad lalu. Hanya saja, kendati plot atau alur kisahnya Jepang, eksekusi skenarionya Drama Korea (Drakor) banget, sehingga menguras emosi penonton.  

Dalam laga itu, Indonesia tampil sebagai Musashi. Layaknya samurai anarkis itu, Tim Indonesia tampil anarkis dalam arti rendah hati, kreatif memainkan strategi, dan merusak lawan secara psikis.

Strategi andalan Tim Indonesia adalah tanpa-stategi baku. Sekilas tampak kacau-balau, tapi sebenarnya itu adalah transformasi terus-menerus selama permainan. Dari formasi bertahan ke menyerang, bertahan sambil menyerang, dan menyerang sambil bertahan. 

Pendek kata, Tim Indonesia membangun jalan sepakbolanya sendiri. Fokusnya membangun "lubang hitam" (blackhole) penyedot energi lawan di daerah pertahanan sendiri, lalu menyelusup lewat "lubang cacing" (wormhole) yang terbentuk di daerah pertahanan lawan.

Senjata utama Tim Indonesia adalah sayap kembar, semacam pedang kembar, yang lihai melancarkan tendangan "bola hidup", dan striker tunggal yang seketika bisa menjadi semacam bokken yang mematikan. 

Dengan senjata itu, bola menjadi hidup bergerak cepat dari kaki ke kaki sebelum masuk ke gawang lawan. Tiga dari empat gol Indonesia ke gawang Singapura dalam laga leg 2 dihasilkan melalui penggunaan senjata itu. Ketiganya berasal dari bola hidup. Hanya satu gol dari "bola mati", sepak pojok. 

Di lain pihak, Singapura tampil sebagai Kojiro. Tim Singapura adalah tim ortodoks dengan disiplin ketat. Singapura selalu tampil percaya diri, bahkan tampak sedikit arogan, di hadapan lawan-lawannya.  Tapi arogansi itu sebenarnya kamuflase untuk titik rapuh pada sisi psikisnya.

Strategi utama Singapura adalah serangan balik cepat, semacam sabetan balik ekor walet ke daerah pertahanan lawan. Senjata utamanya adalah tendangan jarak jauh, semacam pedang panjang, yang mampu memporak-porandakan pertahanan lawan. Bahkan bisa mematikan, menghasilkan gol, manakala berasal dari "bola mati".

Dua, dan hanya dua, gol Singapura ke gawang Indonesia di laga leg 2 dihasilkan melalui strategi itu.  Singapura mendapat dua keuntungan tendangan bebas sedikit di luar kotak penalti, menyusul pelanggaran pada pemain yang melancarkan serangan balik kilat. Tendangan "bola mati"  itu sukses membuahkan gol.

***

Kalau bukan karena ulah Shin Tae-yong, pelatih Indonesia, laga semifinal leg 2 Indonesia versus Singapura itu mungkin hanya serupa tarung Musashi versus Kojiro empat abad lalu. Sebuah pertarungan dramatis ala Jepang, tegas dan kejam,  yang berujung pilu saat Musashi harus menutup kelopak mata Kojiro yang tewas oleh tetakan bokkennya. 

Shin Tae-yong telah membuat laga Indonesia versus Singapura itu menjadi sebuah pertarungan dramatis ala Korea. Dia seakan menafsir ulang pertarungan Musashi versus Kojiro, lalu menerjemahnya menjadi  "Drama Korea" (Drakor)  yang mengharu-biru dan menguras habis emosi penonton.

Bayangkan, setelah Indonesia unggul 1-0 dari kaki Ezra Ealian di awal babak pertama, Singapura berhasil menyamakan kedudukan 1-1 lewat tendangan "bola mati" di menit akhir tambahan waktu. Padahal saat itu seorang pemain Singapura, Safuwan, yang termakan perang psikis, baru diganjar kartu merah dan diusir dari lapangan. 

Bermain dengan 9 orang,  setelah Irfan Fandi diganjar  kartu merah karena mengganjal keras Irfan Jaya, di babak kedua Singapura bahkan berhasil lebih dulu unggul 2-1, berkat tendangan "bola mati" yang dieksekusu Shahdan sedikit di luar kotak penalti.  

Momen itu menimbulkan eforia dahsyat pada Tim Singapura dan pendukungnya. Mereka semakin yakin mampu memenangi laga hanya dengan kekuatan 9 pemain. 

Tapi Indonesia menghajar keyakinan Singapura. Lewat kaki Pratama Arhan, Indonesia kemudian menyamakan kedudukan 2-2. Kerongkongan pendukung Indonesia yang sudah sempat tercekat kering bisa basah dan terbuka lagi.

Tapi jantung Indonesia nyaris copot lagi saat Singapura mendapat hadiah penalti, akibat pelanggaran yang dilakukan Pratama Arhan di kotak penalti. Dan sekali lagi, secara dramatis, kiper Nadeo Argawinata berhasil menggagalkan tendangan penalti yang diambil Faris Ramli itu.

Kegagalan eksekusi penalti itu semacam sabetan pedang Kojiro yang hanya mampu mengiris putus kain bandana di kepala Musashi.  Itu menjadi titik kejatuhan semangat dan kepercayaan diri Tim Singapura dan pendukungnya. Sorak-sorai pendukung mereda, tariannya melemah. Provokasi ke bench Indonesia berhenti. Pergerakan Tim Singapura di lapangan mulai kendur.

Sebaliknya Shin Tae-yong dan Tim Indonesia tetap teguh dengan strategi anarkisnya di lapangan. Sekilas terlihat kacau, tapi itu sebenarnya semacam proses penciptaan khaos ala teori efek kupu-kupu (butterfly effect) ala Edward Lorenz. Menciptakan badai yang berujung petaka gol ke gawang lawan.

Benar saja. Dalam babak perpanjangan waktu, Tim Indonesia memporak-porandakan Tim Singapura dan menambah  2 gol kemenangan. Bahkan Indonesia mungkin akan menambah satu gol lagi seandainya kiper Singapura, Hassan Sunny tak mengganjal keras Irfan Jaya. Ganjalan yang berbuah kartu merah, sehingga kekuatan Tim Singapura tinggal 8 pemain.

Strategi dan transformasi pemain Indonesia selama pertandingan  membuat pendukung Indonesia ketar-ketir, cemas, dan sedih. Juga kesal dan mendungu-dungukan Shin Tae-yong dan Tim Indonesia yang seakan tak berdaya menaklukkan 10 orang dan kemudian 9 orang pemain Singapura.

Emosi pendukung Indonesia, dan sebenarnya juga pendukung Singapura, terkuras habis seakan sedang menonton Drakor besutan Shin Tae-yong di lapangan hijau. Cemas dan sedih bila tim yang didukung tertinggal atau bahkan, pada akhirnya, kalah.

Tim Indonesia rupanya telah diperintahkan Shin Tae-yong tetap bermain seolah melawan 11 pemain Singapura. Kendati faktanya tinggal 10, 9 dan terakhir 8 orang. Perintah itu harus diberikan untuk menghindari Tim Indonesia menjadi lengah karena kepercayaan diri berlebihan. 

Itulah yang membuat penonton kesal, gregetan pada Tim Indonesia, "Goblok amat! Kok gak mampu sih menaklukkan 10 atau bahkan 9 orang?" Atau mengumpat, "Tim Indonesia macam tim tarkam. Strategi Shin Tae-yong berantakan." Bahkan ada yang  tega bilang, "Indonesia tak pantas masuk babak final. Mainnya sangat buruk."

***

Menonton sepakbola mestinya menggunakan imajinasi. Tidak menonton apa adanya. Tapi membayangkannya sebagai pemanggungan peristiwa lain. Semisal membayangkan laga Indonesia versus Singapura itu sebagai pertarungan Musashi dan Kojiro.

Dengan cara itu, sepakbola bisa dinikmati dan dihargai sebagai sebuah pemanggungan seni drama. Sebuah drama sepakbola di lapangan hijau  yang menguras emosi negatif dan positif penonton. Untuk kemudian, tergantung endingnya,  bisa tertawa atau sebaliknya menangis di ujung cerita. 

Dalam sebuah drama selalu ada protagonis dan antagonis. Ada pemeran baik dan buruk sesuai dengan tuntutan skenario. Dengan kerangka macam itu, penampilan sebuah tim sepakbola bisa dinilai secara lebih adil.  Tidak emosional dengan bilang Tim Indonesia buruk, Tim Singapura bagus, lebih pantas ke babak final.

Coba terima fakta ini dengan pikiran jernih. Tiga pemain Singapura diganjar kartu merah. Pemain Indonesia tak ada.  Empat gol lesak ke gawang Singapura. Ke gawang Indonesia hanya dua.  Tim Indonesia juga unggul dalam penguasaan bola. 

Masih tetap mau bilang Indonesia bermain lebih buruk dari Singapura?

Saya pikir otak khalayak sepakbola Indonesia sudah keracunan karena kebanyakan menonton Liga Eropa.  Keracunan oleh anggapan model sepakbola Eropa itulah yang baik dan benar. Itulah seharusnya kiblat dan standar sepakbola dunia. Tak ada pilihan lain.

Maka ketika Shin Tae-yong memperkenalkan sepakbola model Drakor yang anarkis, penonton Indonesia mencak-mencak. Penonton resisten terhadap model sepakbola anarkis macam itu. 

Padahal model anarkis ala Shin Tae-yong itu adalah sebuah novelty sepakbola. Sebuah model baru yang memadukan semangat pantang kalah Korea dan semangat gotong-royong Indonesia. Mengapa tak bisa menerimanya sebagai jalan lain dalam permainan sepakbola.

Memang, sepakbola Drakor Anarkis itu belumlah sempurna. Pemanggungannya di lapangan masih diwarnai berbagai kesalahan dalam tindakan pemain. Mau bilang itu "kedunguan", silahkan saja.. 

Tapi ingat baik-baik. Ketika model anarkis, strategi tanpa-strategi, itu dipraktekkan Indonesia saat melawan Singapura, dua tujuan telah dicapai: kemenangan tim dan ketandasan emosi penonton. Itulah tujuan bermain dan menonton sepakbola.

Jadi, masih mau bilang Shin Tae-yong dan Tim Indonesia tak layak melaju ke babak final melawan Tim Thailand? 

Baiklah, silahkan sepuasnya  mengecam Tim Indonesia. Sementara Shin Tae-yong dan tim akan selalu mengeja kata-kata dalam lantunan lagu Frank Sinatra, "I did it may way."  (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun