Kegagalan eksekusi penalti itu semacam sabetan pedang Kojiro yang hanya mampu mengiris putus kain bandana di kepala Musashi. Â Itu menjadi titik kejatuhan semangat dan kepercayaan diri Tim Singapura dan pendukungnya. Sorak-sorai pendukung mereda, tariannya melemah. Provokasi ke bench Indonesia berhenti. Pergerakan Tim Singapura di lapangan mulai kendur.
Sebaliknya Shin Tae-yong dan Tim Indonesia tetap teguh dengan strategi anarkisnya di lapangan. Sekilas terlihat kacau, tapi itu sebenarnya semacam proses penciptaan khaos ala teori efek kupu-kupu (butterfly effect) ala Edward Lorenz. Menciptakan badai yang berujung petaka gol ke gawang lawan.
Benar saja. Dalam babak perpanjangan waktu, Tim Indonesia memporak-porandakan Tim Singapura dan menambah  2 gol kemenangan. Bahkan Indonesia mungkin akan menambah satu gol lagi seandainya kiper Singapura, Hassan Sunny tak mengganjal keras Irfan Jaya. Ganjalan yang berbuah kartu merah, sehingga kekuatan Tim Singapura tinggal 8 pemain.
Strategi dan transformasi pemain Indonesia selama pertandingan  membuat pendukung Indonesia ketar-ketir, cemas, dan sedih. Juga kesal dan mendungu-dungukan Shin Tae-yong dan Tim Indonesia yang seakan tak berdaya menaklukkan 10 orang dan kemudian 9 orang pemain Singapura.
Emosi pendukung Indonesia, dan sebenarnya juga pendukung Singapura, terkuras habis seakan sedang menonton Drakor besutan Shin Tae-yong di lapangan hijau. Cemas dan sedih bila tim yang didukung tertinggal atau bahkan, pada akhirnya, kalah.
Tim Indonesia rupanya telah diperintahkan Shin Tae-yong tetap bermain seolah melawan 11 pemain Singapura. Kendati faktanya tinggal 10, 9 dan terakhir 8 orang. Perintah itu harus diberikan untuk menghindari Tim Indonesia menjadi lengah karena kepercayaan diri berlebihan.Â
Itulah yang membuat penonton kesal, gregetan pada Tim Indonesia, "Goblok amat! Kok gak mampu sih menaklukkan 10 atau bahkan 9 orang?" Atau mengumpat, "Tim Indonesia macam tim tarkam. Strategi Shin Tae-yong berantakan." Bahkan ada yang  tega bilang, "Indonesia tak pantas masuk babak final. Mainnya sangat buruk."
***
Menonton sepakbola mestinya menggunakan imajinasi. Tidak menonton apa adanya. Tapi membayangkannya sebagai pemanggungan peristiwa lain. Semisal membayangkan laga Indonesia versus Singapura itu sebagai pertarungan Musashi dan Kojiro.
Dengan cara itu, sepakbola bisa dinikmati dan dihargai sebagai sebuah pemanggungan seni drama. Sebuah drama sepakbola di lapangan hijau  yang menguras emosi negatif dan positif penonton. Untuk kemudian, tergantung endingnya,  bisa tertawa atau sebaliknya menangis di ujung cerita.Â
Dalam sebuah drama selalu ada protagonis dan antagonis. Ada pemeran baik dan buruk sesuai dengan tuntutan skenario. Dengan kerangka macam itu, penampilan sebuah tim sepakbola bisa dinilai secara lebih adil. Â Tidak emosional dengan bilang Tim Indonesia buruk, Tim Singapura bagus, lebih pantas ke babak final.