Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #084] Gadis Kalender di Malam Tahun Baru

30 Desember 2021   19:48 Diperbarui: 3 Januari 2022   13:46 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lonceng Gereja Katolik Aeknatio berdentang bertalu-talu.  Jarum jam menunjukkan angka 00.00 WIB.  Titik waktu pergantian tahun. Dari 31 Desember 1972 ke 1 Januari 1973.

Lonceng pergantian tahun itu tradisi.  "Seingat ompung, sejak awal seribu sembilanratus limapuluhan," jawab neneknya saat Poltak menanyakan sejak kapan tradisi itu dimulai.

Kakek Poltak dulu pernah bercerita, Gereja Katolik Aeknatio terbilang kelompok gereja Katolik perintis di Tanah Batak.  

"Agama Katolik sudah ada di kampung kita sebelum Jepang datang. Waktu itu pastornya Sibarandus," tutur kakek Poltak.

Maksud kakek Poltak adalah Pastor Sybrandus van Rossum OFMCap, missionaris Katolik pertama di Tanah Batak.  Pastor Kapusin ini mengenalkan Katolik kepada warga  Aeknatio, termasuk Panatapan,  tahun 1939.

"Waktu Jepang datang tahun 1942, gereja kita disita. Dijadikan lumbung beras. Pastor-pastor Belanda ditangkapi. Gereja mati suri. Baru hidup lagi tahun 1951."

Poltak berdiri di bawah menara lonceng gereja tua itu sambil terkenang akan kisah kakeknya. Lonceng tua itu masih berdentang nyaring. mengabarkan pergantian tahun kepada seluruh umat Katolik Aeknatio.

Di akhir tahun 1972 itu, Poltak sudah boleh bergabung dengan naposo bulung, muda-mudi Katolik untuk martaon baru. Merayakan pergantian tahun dengan mengunjungi umat ke satu ke lain  huta, kampung.

Kunjungan ke kampung-kampung dilakukan setelah dentang lonceng pergantian tahun. Muda-mudi itu akan mengunjungi umat Katolik mulai dari huta Robean. Lalu Panatapan, selanjutnya Toruan.  Dari situ ke Bagasan, dan terakhir Sorlatong.  

Umat di tiap kampung dibangunkan dan berkumpul di satu halaman.  Lalu ibadah singkat di situ. Bernyanyi dan berdoa. Mohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru. 

Setelah doa, tiba rekonsiliasi sosial. Umat bersalam-salaman,  saling memaafkan kesalahan sepanjang tahun lalu.  

Acara ditutup dengan ramah-tamah. Bersama menikmati sajian Tahun Baru.  Keluarlah kue-kuean seperti  lampet, sasagun, kembang goyang, kue semprit, kue bawang, dan kacang tojin.  Juga minuman kopi, teh, dan sirop markisa panas.

"Selamat tahun baru, Poltak."  Suara ceria gadis kecil dari arah belakangnya mengagetkan Poltak.  Saat itu muda-mudi sedang saling salam mengucap selamat Tahun Baru.

Poltak berbalik, "Ah, Rauli.  Selamat tahun baru." Poltak menyambut uluran tangan Rauli. Bersalaman, hangat dengan senyum.

Rauli.  Dia anak Siantar, pulang kampung bersama keluarganya ke Sorlatong. Kumpul bersama kakek-nenek dan keluarga besarnya untuk bertahun-baru. Suatu kelaziman dalam budaya Batak.

Beberapa jam yang lalu,"Poltak, lihat itu. Ada gadis cantik duduk di depan.  Cantik macam gadis kalender di rumahku," bisik Binsar kepada Poltak, sesaat sebelum kebaktian Tahun Baru dimulai.

Maksud Binsar, cantik seperti gadis model kalender. Lelaki Panatapan tahu tampilan gadis cantik dari kalender.

"Betul itu, Poltak. Macam gadis kalender cantiknya.  Tapi sombonglah dia itu," tambah Bistok, berbisik.

"Benar.  Si Tongam, ponakan porhangir itu, tak disangko sama dia,"  imbuh Binsar, menegaskan kesombongan Rauli. Tongam tak disangko, tak dianggap, olehnya.

"Ah, biarkan saja."  Poltak menanggapi dingin. "Aku kan calon pastor. Untuk apa pula ikut mengejar-ngejar anak gadis macam itu," pikirnya.

"Ah, payahlah kau, Poltak," balas Binsar agak kesal.

Tapi sudah nasib calon pastor rupanya dikejar-kejar anak gadis.  Atau, itu mungkin cobaan? Atau sebaliknya, rejeki? Entahlah.

Seusai kebaktian Tahun Baru, saat muda-mudi menunggu pukul 24.00 WIB tiba, Rauli dituntun Pasuria, sepupunya, menemui Poltak.

"Poltak.  Ini Rauli, sepupuku dari Siantar." Pasuria memperkenalkan sepupunya itu kepada Poltak. 

Poltak menyalami Rauli. Keduanya bertukar senyum.

"Poltak ini calon pastor, Rauli.  Nanti dia sekolah di Seminari Siantar," lanjut Pasuria.

"Seminari itu di seberang sekolahku, Poltak. Di Lapangan Bola Atas," timpal Rauli yang sambil tersenyum. Nada suaranya ceria, ringan, lepas seperti kicau burung prenjak.

Poltak membalas tersenyum, sambil mengangguk.  "Rauli ini tak sombonglah.  Cantik pula."  Poltak membatin.

"Aku gabung dengan teman-teman dulu, ya?" Poltak menghindar sopan.

"Olo.  Nanti jalan sama kami ya, Poltak," pesan Pasuria, sebelum Poltak beranjak menemui Binsar, Bistok, dan teman-temannya di teras gereja.

Begitulah.  Saat perjalanan bertahun-baru dimulai pada dinihari 1 Januari 1973, Rauli dan Pasuria menempel pada Poltak.  

Hal itu menimbulkan sedikit iri hati pada Binsar dan Bistok.  Dan banyak iri hati pada Tongam.  Jelas terlihat dari sorot matanya yang seakan menikam Poltak.  Untunglah malam itu Tahun Baru. Malam penuh maaf.

"Jadi, kamu naik kelas enam tahun ini, ya, Poltak," tanya Rauli dalam perjalanan ke Robean.  

"Iya," jawab Poltak, sambil mengangguk.  Anggukan bodoh.  Siapa pula yang melihat anggukan di gelap malam.

"Kita bertiga sama kalau begitu. Rauli juga naik kelas enam," timpal Pasuria.

"Ah, pintar. Rauli pasti pintar. Anak kota pintar-pintar," puji Poltak. Dia merujuk pada para pamannya di Kisaran. Semua anak pintar, karena melahap banyak majalah dan buku bacaan.

Wajah Rauli bersemu merah dipuji Poltak begitu.  Tapi untuk apa pula wajahnya bersemu merah.  Poltak tak akan bisa melihatnya di gelap malam.

"Malam ini langit cerah, ya.  Bintang-bintang terlihat semua," Rauli mengalihkan pembicaraan.

"Ya. Coba lihat ke langit. Itu sabuk Bima Sakti." Poltak menjelaskan sambil menunjuk ke arah bentangan putih di langit. "Ah, indah sekali. Itu galaksi kita. Kita ada di dalamnya," lanjutnya. 

Rauli sudah tahu tentang Bima Sakti dari gurunya.  Tapi cara Poltak menjelaskan galaksi itu membuatnya sangat terkesan. "Anak kampung. Tapi cerdasnya melebihi anak kota," Rauli membatin.

Acara tahun-baruan di Robean dan Panatapan berturut-turut diadakan di halaman rumah orangtua Poltak dan nenek Poltak. Tidak lama, tapi khidmad di bawah langit dinihari. 

Nyanyian sudah dilantunkan, doa sudah dipanjatkan.  Kue-kue dan minuman sudah masuk perut.  Sebagian kue-kue, seperti biasanya, masuk kantung baju dan celana anak lelaki.

"Ih, dingin sekali," keluh Rauli dalam perjalanan kembali menuju Toruan, lewat jalan raya Trans-Sumatera. 

"Pakai ini." Poltak mengangsurkan syal merah hati yang sedari tadi melilit di lehernya. Itu syal hasil rajutan neneknya.  Andalannya menahan terpaan dingin udara malam.

"Mauliate, Poltak." Rauli menerima syal itu dan menyelimutkannya menutupi punggung dan dada.  

Senyum mengembang di bibirnya. Sudah pasti Poltak tak bisa melihatnya. Jadi apa gunanya senyum?

"Kau sudah pernah ke Siantar, Poltak?"

"Sudah."

"Kemana saja di sana?"

"Banyak.  Kebun Binatang. Pabrik Es. Taman Bunga Pagoda. Menonton film di Bioskop Ria. Makan bakmi di Jalan Nanking. Mandi di Bah Bolon."

"Ke Pabrik Es?" Rauli takjub.

"Ya, Pabrik Es Siantar.  Melihat pembuatan balok es dan soda cap badak."

"Masuk ke dalam pabrik?"

"Ya, dibawa amangudaku.  Kata pegawainya pabrik itu didirikan tahun 1916.  Pendirinya Henrik Surbek. Orang Swiss." Maksud Poltak adalah Heinrich Surbeck. 

Rauli terdiam, kagum di hati.  "Mengapa dia tahu Siantar lebih banyak dari aku," pikirnya.

Acara tahun-baruan muda-mudi di kampung terakhir, Sorlatong, usai beberapa waktu setelah kokok ayam kedua kali. Perut dan kantung Poltak dan teman-temannya sudah penuh dengan kue-kuean.  Perut serasa kembung oleh kopi, teh, dan sirop.

"Ini sudah pukul berapa, ya," tanya Rauli pada Poltak, sesaat setelah acara usai, sebelum muda-mudi pulang kembali ke rumah masing-masing.

Poltak memegang kupingnya.  Terasa kecil sekali.  "Pukul empat pagi," jawabnya.  Itu perkiraaannya.  Berdasar selang waktu sejak kokok ayam yang kedua kali dan rasa ukuran telinganya.

"Naposo bulung semua," ketua muda-mudi berbicara, "acara tahun-baruan sudah selesai. Sekarang sudah pukul empat pagi. Terimakasih untuk teman-teman semua.  Sekarang kita boleh pulang ke rumah masing-masing."

Rauli melirik ke arah Poltak. "Bagaimana cara dia memperkirakan waktu?"  Dia membatin, takjub, tak habis pikir.

"Aku pulang dulu, ya Rauli, ya Pasuria."  Poltak pamit.

"Mauliate, Poltak," balas Rauli. "Nanti, kalau kamu masuk Seminari, mainlah ke rumah. Kami tinggal di Lapangan Bola Atas. Dekat dari Seminari," lanjutnya.

"Olo," jawab Poltak singkat. Lalu berbalik, melangkah menghampiri Binsar dan Bistok.

"Poltak! Syalmu! Lupa!" Rauli beteriak.

"Oh, iya." Poltak berbalik sambil menepuk jidat. Menerima kembali syalnya dari tangan halus Rauli.

"Mauliate da, Poltak."

"Olo," jawab Poltak sambil berbalik lagi melangkah, menyusul Binsar dan Bistok yang sudah beranjak.

"Aku harus cepat pulang," bisik Poltak dalam hati. 

Kemarin neneknya berpesan. Pagi ini dia harus ke Binanga. Mengantar makanan tahun baru ke rumah tulangnya, ke rumah Berta, paribannya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun